Page 14 - NEW DRAFT E-MODUL_Neat
P. 14
EKOSISTEM LAHAN BASAH E-MODUL
(2) belum kering, dan (3) banyak mendatangkan keuntungan. Maka dapat diketahui bahwa
lahan basah merupakan lokasi suatu daerah yang dapat mendatangkan banyak keuntungan.
Secara tipologi ekosistem lahan basah yang terdiri dari dua tipologi yaitu ekosistem
air tawar dan ekosistem estuarin. Ekosistem air tawar terdiri dari air yang tenang seperti:
empang, rawa, kolam dan air mengalir seperti: sungai, sumber air. Sedangkan ekosistem
estuarin terpengaruh adanya pasang surut air laut, contohnya: payau, mangrove, rumput
laut, laguna. Lahan basah juga memiliki karakterisitik yang berebeda dengan karakteristik
lahan kering. (Amin, 2016) mengatakan lahan kering adalah lahan tadah hujan (rainfed)
yang dapat diusahakan secara sawah (lowland, wetland) atau secara tegal atau ladang
(upland). Lahan kering pada umumnya berupa lahan atasan, kriteria yang membedakan
lahan kering adalah sumber air. Sumber air bagi lahan kering adalah air hujan, sedangkan
bagi lahan basah disamping air hujan juga dari sumber air irigasi.
Lahan basah, berdasarkan Sistem
Klasifikasi Ramsar, diklasifikasikan
menjadi tiga kelompok utama, yaitu: lahan
basah pesisir dan lautan, lahan basah
daratan, dan lahan basah buatan. Diantara
ketiga kelompok utama lahan basah
tersebut, lahan basah buatan (human-made
Istilah “Lahan Basah”, sebagai
wetlands) mungkin bisa dianggap sebagai terjemahan “wetland” baru
satu-satunya kelompok lahan basah yang dikenal di Indonesia sekitar
tahun 1990. Sebelumnya
memiliki posisi paling dilematis, karena di masyarakat Indonesia menyebut
kawasan lahan basah
satu sisi pembangunan lahan basah buatan berdasarkan bentuk/nama fisik
memang perlu dilakukan untuk memenuhi masing-masing tipe seperti:
rawa, danau, sawah, tambak,
kebutuhan-kebutuhan tertentu (misal dan sebagainya.
habitat mangrove diubah jadi tambak)
sementara di sisi lain pembangunan lahan
basah buatan dianggap menjadi penyebab
berkurangnya (atau bahkan hilangnya)
fungsi dan nilai (manfaat) lahan basah
alami (Harianto & Dewi, 2017).
14