Page 11 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 11
KATA PENGANTAR AHLI
mengalahkan kemaharajaan Tiongkok yang sedemikian besar dan sedemikian
berkuasa? Maka janganlah heran kalau kemenangan Jepang atas Tiongkok di tahun
1895 ini sering juga disebut-sebut dalam majalah Insulinde, sebuah majalah yang
terbit di Kota Padang (1901-1904). Majalah inilah yang pertama memopulerkan
seruan “kemajuan” dan mendorong anak negeri untuk berkecimpung dalam
dinamika “dunia maju”. Karena telah menyadari apa makna “kemajuan” dalam
perjalanan sejarah, maka bisalah dipahami kalau berita tentang kemenangan
Jepang di tahun 1904 dalam perang melawan kemaharajaan Rusia cukup bergema
di kalangan masyarakat pribumi yang telah terkena seruan “kemajuan” itu.
Bagaimana mungkin Jepang, sebuah kerajaan kecil di Asia, bisa mengalahkan
kemaharajaan Rusia, kekuatan besar dari benua Eropa?
“Kemenangan Jepang atas Rusia” adalah ingatan kesejarahan yang
langsung ataupun tidak, meningkatkan rasa hayat “kemajuan” di kalangan anak
negeri di “tanah Hindia”. Tulisan-tulisan Dokter Abdul Rivai dalam berkala Bintang
Hindia yang diterbitkan di negeri Belanda itu tidak henti-hentinya memopulerkan
seruan “kemajuan” dan menyerukan semangat kebangkitan “tanah Hindia”. Bahkan
beberapa kali ia menganjurkan agar anak negeri Hindia ini mendirikan perkumpulan
seperti yang telah dilakukan oleh orang Tionghoa demi tercapainya “kemajuan”.
Jadi bisa dipahami juga kalau seruan ini memberi inspirasi pada Dokter tua,
Wahidin, untuk menulis karangan yang mengulang anjuran Dokter Abdul Rivai
dalam tulisannya yang dimuat dalam berkala yang terbit di Solo. Anjuran inilah yang
memengaruhi Sutomo, seorang mahasiswa STOVIA, untuk mendirikan Boedi
Oetomo pada bulan Mei 1908. Tidak lama kemudian masyarakat pedagang di Kota
Solo pun mengubah nama organisasi mereka, Sarekat Dagang Islam menjadi
Sarekat Islam. Peristiwa setalah kejadian ini? Maka biarlah sejarah nasional
berkisah pengetahuan tentang betapa Jepang, sebuah negara Asia, berhasil
mengalahkan sebuah negara besar Eropa dirasakan pula sebagai bukti bahwa
peradaban Asia tidak lebih rendah dari Eropa.
Mungkin hanya suatu kebetulan saja, tetapi dalam perjalanan waktu,
setapak demi setapak semangat harga diri bangsa pun semakin menaik juga. Mula-
mula perasaan ini mungkin hanya di kalangan terpelajar di kota-kota besar, tetapi
dalam perjalanan waktu, perasaan ini semakin meluas juga. Masa “pemberontakan
desa”, ketika penduduk desa di wilayah-wilayah tertentu mengangkat senjata
melawan keharusan yang dipaksakan kekuasaan asing mungkin telah berakhir,
tetapi kesadaran kebangsaan yang disebarakan dan dipupuk karena pelebaran
wilayah “kebudayaan pena”, surat-surat kabar dan alat komunikasi tertulis lain, dan
tumbuhnya perkumpulan sosial, politik, dan keagamaan semakin menaik juga.
2