Page 189 - BUKU LIMA - DINAMIKA DAN PERANAN DPR RI DALAM MEMPERBAIKI KEHIDUPAN BERNEGARA PADA ERA REFORMASI 1998-2018
P. 189
SEABAD RAKYAT INDONESIA
BERPARLEMEN
Pada tanggal 20 September 1953, Daud Beureuh memproklamirkan
Negara Islam Indonesia atau dikenal dengan pemberontakan Darul Islam/
Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pemberontakan ini tidak bermaksud
memisahkan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi
lebih kepada keinginan mengubah dasar negara. Dalam pemberontakan
ini terdapat tiga alasan kuat yang menjadi pemicu terjadinya aksi
pemberontakan ini. Pertama, degradasi status Provinsi Aceh menjadi
daerah karesidenan yang terintegrasi ke dalam wilayah Provinsi Sumatera
Utara. Kedua, Daud Beureuh menganggap pemerintahan Sukarno telah
mengingkari janji politiknya untuk memberikan status daerah istimewa
bagi Provinsi Aceh terutama keistimewaan dalam menjalankan sebuah
pemerintahan daerah berdasarkan syariat Islam.
197
Pemicu konflik Aceh lainnya adalah karena pandangan Daud
Beureuh terhadap pemerintah Indonesia yang menjadi sebuah
pemerintahan sekuler. Menurutnya hal ini melanggar prinsip sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Konflik antara pemerintah pusat dengan
198
para pemberontakan DI/TII di Aceh ini selesai pada tahun 1959 setelah
Aceh mendapatkan status Provinsi Istimewa. Status ini diperoleh
berdasarkan surat keputusan No. 1/Missi/1959 tanggal 16 Mei yang
dikeluarkan Wakil Perdana Menteri RI, Mr. Hardi. Melalui SK itu,
199
...Gerakan Aceh Aceh diberi otonomi di bidang pendidikan, agama dan adat istiadat.
Merdeka (GAM) Status Aceh ini kemudian diperkuat dalam UU No. 18/1965 tentang
pemerintahan daerah.
200
atau Atjeh Sumatera Meskipun demikian situasi damai di Aceh tidak bertahan lama.
National Liberation Potensi konflik horizontal muncul ketika Muhammad Hasan Tiro
Front (ASNL) pada mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Atjeh Sumatera
4 Desember 1976 National Liberation Front (ASNL) pada 4 Desember 1976 yang menuntut
pemisahan Aceh dari Negara Indonesia. Deklarasi ini merupakan reaksi
yang menuntut terhadap kebijakan sentralistis yang dijalankan pemerintah pusat pada
pemisahan Aceh dari masa itu. Kebijakan sentralistis termaktub dalam Undang-Undang No.
Negara Indonesia. 5/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Dalam Undang-
Undang ini pemerintah pusat mendominasi seluruh aspek pemerintahan,
baik itu menyangkut masalah politik atau ekonomi. Sentralisasi
201
197 Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi
Aceh, 1999), hlm 220.
198 A. Yani Basuki dan A. Bakir Ihsan, SBY dan Resolusi Konflik: Langkah-langkah Penyelesaian Konflik
di Aceh, Atambua, Maluku, Papua, Poso, dan Sampit, (Jakarta: Relawan Bangsa, 2004), hlm. 36.
199 Ibrahim Alfian, Op.Cit. hlm. 285.a
200 Moch Nurhasim, dkk. Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan
dan Upaya Penyelesaian, (Jakarta: LIPI, 2003), hlm. 22.
201 Michel Malley & Donald K. Emerson (Ed), Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat,
Transisi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan The Asia Foundation, 2001), hlm. 135.
dpr.go.id 184

