Page 33 - MAJALAH 160
P. 33

FOTO : AYU/IW



              Edhy Prabowo bersama Anggota Komisi IV saat panen raya jagung di Gorontalo
              merawat dan mendidik Bowo, begitu saat   Dalam rangka memberikan   jujur,” ujar Edhy menirukan ucapan sang
              kecil ia biasa disapa, dengan penuh cinta   pendidikan yang terbaik, kedua orangtua   ayah.
              kasih. Masih diingatnya, bagaimana sang   Edhy pun menyekolahkannya sejak   Memasuki usia SMP, Edhy tidak lagi
              ayah selalu mengedepankan pendidikan   Taman Kanak-kanak (TK) hingga SD   sekolah di sekolah swasta, ia terpilih
              agama dan sekolah kepada delapan   (sekolah dasar) di Sekolah Katolik   masuk sekolah negeri, tepatnya di SMP
              anak-anaknya. Mengaji dan sekolah   Xaverius, Tanjung Enim. Pertimbangannya   Negeri I Tanjung Enim. Tidak ada yang
              menjadi dua hal yang harus dijalankan   hanya satu, sekolah tersebut menerapkan   berbeda dari keseharian Edhy, sekolah,
              oleh anak-anaknya, termasuk Bowo.  disiplin yang tinggi. Namun tanpa   belajar, mengaji, menitipkan peyek dan
                 Meski demikian, Bowo dan      disadari, secara tidak langsung kedua   bermain.
              keempat sang kakak tak kuasa untuk   orangtua Edhy tengah mengajarkannya   Terpilih belajar di SMA Negeri
              membiarkan sang bunda yang sejak pagi   akan Bhineka Tunggal Ika atau berbeda-  Tanjung Enim merupakan salah satu yang
              buta, tepatnya sesudah sholat subuh,   beda tetapi satu jua. Dimana di sekitarnya   membahagiakan bagi Edhy. Pasalnya,
              membuat, menggoreng dan menitipkan   hidup saudara-saudara sebangsa   tidak semua anak seusianya saat itu
              peyek kacang ke warung-warung sekitar   yang notabene memiliki keyakinan di   berkesempatan untuk menempuh
              rumahnya sendirian. Ia menyadari semua   luar agama yang dianutnya selama ini.   pendidikan terbaik sampai SMA ketika itu.
              itu dilakukan sang bunda demi anak-  Hal itulah yang bukan tidak mungkin   Saat itu, jiwa organisatoris dalam diri Edhy
              anaknya. Pasalnya, meski penghasilan   menumbuhkan jiwa toleransi dan   pun mulai terlihat. Ia mengikuti sejumlah
              sang ayah ketika itu terbilang cukup   nasionalis yang tinggi dalam diri Edhy.   organisasi sekolah. Bahkan ketika itu ia
              besar, namun karena jumlah anak     Tak heran, meski harus berjalan kaki   juga sempat terpilih menjadi Ketua OSIS
              yang harus dibiayai juga banyak, maka   sejauh enam kilometer dari rumah ke   yang notabene sebagai jabatan tertinggi
              sang bunda pun harus memutar otak   sekolahnya, ditambah dengan kondisi   di organisasi siswa di sekolah itu.
              menambah penghasilan bagi sang suami.   jalan yang becek karena harus melewati   Di sekolah itu, namanya Edhy pun
                 Saat itu Bowo kecil yang selalu   tempat pengumpulan batubara,   mulai dikenal luas. Dan karena postur
              kebagian untuk menumbuk tepung   namun semua itu tidak mengurangi   tubuh yang tinggi dan atletis, Edhy pun
              sebagai bahan pembuat peyek.     semangatnya untuk menimba ilmu.   terpilih mewakili sekolahnya menjadi Tim
              Sementara sang kakak ikut membantu   Meski mengutamakan pendidikan   Paskibra (Pasukan Pengibar Bendera)
              sang bunda memotong-motong kacang   akademis dan agama, namun kedua   Provinsi Sumatera Selatan. Siapa sangka
              tanah menjadi beberapa bagian. Ketika   orangtua Edhy juga membiarkan sang   saat menjadi Tim Paskibra itu mulai
              peyek sudah jadi, ditempatkan ke   anak bersosialisasi, bermain bersama   mucul inspirasi yang akhirnya menjadi
              dalam wadahnya, Bowo pun siap untuk   teman-teman seusianya. Tak jarang Edhy   cita-citanya untuk menjadi seorang
              menitipkannya ke warung-warung   memilih bermain di sungai yang berjarak   Tentara Nasional Indonesia (dulu ABRI-
              langganan sebelum berangkat sekolah.   tidak terlalu jauh dari rumahnya.   red).
                 “Saya tidak malu mengakui ketika   Dalam kehidupan, ada satu nilai hidup   “Gagah juga ya kalau saya
              kecil ikut jualan peyek, menitipkan   yang dipesankan sang ayah kepada   berseragam loreng dan berbaret hijau,”
              peyek buatan ibu ke warung-warung   Edy dan saudara-saudaranya sejak dini,   benaknya ketika itu.
              dekat rumah. Saat proses pembuatan   yakni kejujuran. Bagi sang ayah, kejujuran
              peyek, saya juga yang selalu kebagian   merupakan investasi yang murah dan   Tinggalkan Kampung
              menumbuk dengan palu (sampai     mudah dilakukakn sebenarnya, namun   Halaman
  FOTO: RIzKA/IW  ibu). Bahkan sampai sekarang pun pagi   investasimu yang paling murah, tapi   mengenyam pendidikan Sekolah
                                               hasilnya akan sangat mahal.
              sekarang palu itu masih ada di rumah
                                                                                   Singkat cerita, tiga tahun
                                                  “Jujur itu mahal nak, itulah
                                                                                Menengah Atas, tibalah saatnya Edhy
              hari setelah mengaji ibu saya masih
              jualan nasi gemuk (nasi uduk),” kenang
              Edhy diiringi dengan tawa.       hasilnya nanti ke depan akan sangat   masuk dunia kampus. Sayangnya,
                                               mahal. Apapun itu yang penting kamu
                                                                                kondisi kedua orangtua Edhy saat
                                                                                160 XLVIII 2018  PARLEMENTARIA 33
   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38