Page 50 - Berangkat Dari Agraria
P. 50
BAB I 27
Urgensi Pelaksanaan Reforma Agraria
feodalisme dan kolonialisme di lapangan agraria. Namun belum
tuntas dijalankan. peralihan rezim pemerintah dari Soekarno ke
Soeharto membawa implikasi pada perubahan haluan politik agraria
nasional dari populistik jadi kapitalistik.
Masa reformasi (1998-2014) yang ditandai deliberalisasi politik
ternyata belum sanggup menuntaskan warisan sejarah berupa
ketidakadilan agraria yang memiskinkan rakyat, merugikan negara
dan membuat bangsa terbelakang.
Momentum datang
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tak serius
menjalankan reforma agraria. Dibiarkannya ketimpangan pemilikan
dan penguasaan tanah serta kekayaan alam, dan tak dibentuknya
kelembagaan khusus untuk menangani dan menyelesaikan konflik
agraria jadi tanda nihilnya komitmen politik untuk menjalankan
reforma agraria.
Kini momentum untuk menjalankan reforma agraria kembali
terbuka. Indonesia baru memasuki transformasi politik melalui
proses demokratis. Tahun ini, Pemilu legislatif (9 April) menghasilkan
konstalasi politik baru di parlemen (DPR, DPD, dan DPRD) dan
terpilihnya pemimpin nasional baru melalui Pemilu Presiden (9
Juli). Kehadiran pemimpin nasional baru selalu membawa harapan
baru.
Pelaksanaan reforma agraria di Indonesia kontemporer mesti
berangkat dari Ketetapan MPR RI No.IX/2001. Ketetapan MPR
ini memberi tugas dan tanggungjawab kepada DPR dan Presiden
untuk menjalankan reforma agraria dan pembaruan pengelolaan
sumberdaya alam agar berkeadilan dan berkelanjutan.
Visi, misi dan program aksi Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai
calon presiden dan wakil presiden terpilih mengguratkan komitmen
untuk menjalankan reforma agraria. Dalam naskah berjudul
“Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian” (Mei 2014), Jokowi-JK berkomitmen menyelesaikan
konflik agraria dengan membentuk kelembagaan khusus,