Page 13 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 13
Land Reform Lokal A La Ngandagan
telah menjadi kekhawatiran banyak pihak seiring dengan
terus diadopsinya model pembangunan neo-liberal. Hal
inilah yang melatari kontroversi yang marak dewasa ini di
seputar kebijakan nasional pengembangan infrastuktur dan
food and energy estate karena dikhawatirkan akan berdampak
pada pengusiran penduduk dan perusakan lingkungan yang
lebih besar lagi.
Dalam semua situasi kritis, faktor kepemimpinan
memegang peranan penting. Demikian pula dalam
menghadapi “situasi di simpang jalan” seperti disinggung di
atas. Sebuah konsensus nasional untuk setia mengupayakan
cita-cita kebangsaan di bidang agraria niscaya memerlukan
suatu kepemimpinan yang kuat dan visioner. Dalam konteks
inilah kisah desa Ngandagan menjadi kasus yang menarik
untuk dijadikan inspirasi. Pada tahun 1947, desa ini seperti
umumnya desa-desa lain di Jawa mengalami situasi krisis
agraria yang amat parah. Sisa-sisa penderitaan di bawah
pemerintah fasis Jepang masih belum hilang. Republik
Indonesia yang masih muda belia sedang menghadapi perang
revolusi mempertahankan kemerdekaan. Di tengah situasi
demikian, kondisi ekonomi masyarakat Ngandagan sebagai
masyarakat yang berciri agraris amat memprihatinkan. Pada
saat itu, dari sekitar 36,2 ha lahan sawah di desa, hanya tersisa
sekitar 10,8 ha saja yang masih dikuasai oleh penduduk desa
ini, sedangkan bagian yang lebih besar sudah dikuasai oleh
pemilik dari luar desa.
Dalam situasi krisis inilah Lurah Soemotirto dengan
kepemimpinannya yang karismatis berhasil menggerakkan
warganya untuk bangkit dari keterpurukan. Di bawah
xii