Page 136 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 136
Dinamika Politik Nasional di Era 1960-an dan Dampaknya di Desa Ngandagan
bereaksi keras dengan memobilisasikan pengikutnya untuk
menghadang kelompok pertama. Ketegangan di pedesaan
ini mencapai titik puncaknya ketika ia kemudian bereskalasi
menjadi kekerasan terbuka di antara kedua kubu masyarakat
42
yang saling bertikai tersebut.
Apa yang terjadi di desa Ngandagan sendiri amat
menarik. Konflik dan kekerasan antar kelompok masyarakat,
seperti yang banyak mencuat di tempat-tempat lain, sama
sekali tidak terjadi di desa ini. Yang terjadi adalah oposisi
dari sementara elit desa yang merasa dirugikan oleh
kebijakan agraria Soemotirto yang kemudian terartikulasi
sebagai persaingan ideologi ketika ia mulai dipertautkan
dengan percaturan politik di tingkat kabupaten. Sementara
rakyat Ngandagan sendiri dapat “selamat” dari kecamuk
pertikaian politik ini yang di banyak tempat lain telah
berujung pada “tragedi kemanusiaan 1965” ketika ratusan
ribu orang dibunuh ataupun dipenjara tanpa melalui
proses peradilan. Patut dicatat bahwa terhindarnya warga
Ngandagan dari polarisasi politik di antara mereka sendiri,
serta terselamatkannya mereka dari ekses peristiwa “G30S”,
ternyata tidak terlepas dari peran Soemotirto, seperti akan
dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.
42. Mengenai uraian tentang dasar-dasar konflik selama pelaksanaan
land reform di era 1960-an, lihat antara lain Lyon (1970), Utrecht
(1969), Sulistyo (2000), Padmo (2000), dan lain-lain.
107