Page 141 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 141
Land Reform Lokal A La Ngandagan
kewajiban penerima tanah hanya kepada desa dan tidak
lagi kepada kuli baku.
Di dalam masyarakat tradisional, motif kedekatan
personal dan hubungan patron-klien memang amat besar
pengaruhnya dan turut bekerja, baik dalam proses pemilu
maupun pilihan ideologi kepartaian pada umumnya. Sejak
land reform dijalankan di desa Ngandagan pada tahun
1947, tidak ada lagi hubungan patron-klien antara petani
kaya dengan para petani miskin seperti lazim dijumpai di
desa-desa lain. Akibatnya, para petani kaya di desa ini tidak
dapat lagi dengan mudah mempengaruhi pilihan politik para
petani miskin di lingkungannya. Desalah yang kemudian
menggantikan posisi petani kaya dalam pola hubungan
patronase semacam itu.
Pada masa itu, berbicara mengenai “desa” dan “land
reform” berarti identik dengan figur Soemotirto. Hal ini
karena besarnya pengaruh Soemotirto di dalam pemerintahan
desa Ngandagan, serta kegigihannya dalam menjalankan
program land reform. Oleh karena itu, berpatron kepada
desa berarti berpatron kepada tokoh karismatis ini. Dan
begitulah, warga Ngandagan kemudian memilih PKI sesuai
dengan ideologi yang dianut oleh patronnya itu. Sebagaimana
dikemukakan oleh Wiradi (2009b: 163):
“Hal ini terjadi barangkali karena Lurah mampu
membuktikan kapabilitasnya memperbaiki
kehidupan ekonomi warganya dengan meluncurkan
program land reform. Melalui penataan kembali
atas cara bertani dan hubungan perburuhan, atas
hak dan kewajiban para buruh kuli dan kuli baku,
dan atas status dari kepemilikan tanah, Lurah
112