Page 131 - Land Reform Lokal Ala Ngandagan: Inivasi system Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964
P. 131
Land Reform Lokal A La Ngandagan
rumah maupun pemilik tanah sama-sama tidak berdaya
menghadapi keputusan sang lurah yang sangat berkuasa
ini. Tak ayal, hubungan di antara keduanya menjadi tidak
harmonis. Sang pemilik tanah terus melakukan berbagai
cara agar penghuni rumah merasa tidak nyaman. Dan
ketika Soemotirto turun dari jabatannya sebagai lurah,
pemilik tanah pun langsung menuntut penghuni rumah
39
untuk mengembalikan tanahnya.
Konflik semacam ini terjadi karena kebijakan relokasi
berdampak pada pengambilan tanah pekarangan oleh desa
untuk ditempati rumah orang lain, sementara pemilik
tanahnya sendiri tidak mendapatkan ganti rugi. Padahal,
lahan pekarangan selalu dipersepsi warga sebagai tanah yasan
yang menjadi milik mutlak perorangan, berbeda dari lahan
sawah yang menurut asal-usulnya memang merupakan
tanah komunal (pekulen). Oleh karena itu, ketika desa
merelokasikan rumah seseorang ke tanah pekarangan milik
orang lain, maka pihak yang terakhir pun merasa keberatan
dan mempertanyakan kewenangan desa dalam melakukan
hal tersebut.
Pada perkembangannya, ketidakpuasan ini bahkan
sampai memuncak pada tahap di mana Soemotirto pada
tahun 1962 diajukan ke depan pengadilan. Langkah hukum
semacam ini ditempuh oleh seorang warga yang menjadi
lawan politiknya, dengan menggugat Soemotirto atas
tuduhan mengambil tanah milik warga tanpa persetujuan.
Bagaimanapun, seperti akan segera dijelaskan pada Bab IV
nanti, proses hukum semacam itu banyak berkaitan dengan
39. Wawancara dengan Marmo pada tanggal 13 Juni 2010.
102