Page 9 - Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat
P. 9

Nur Aini Setiawati

            laan tanah). Pengerjaan tanah dilakukan oleh rakyat di bawah
            naungan para patuh dengan sistem bagi hasil. Bagi tatanan
            politik keraton, kebijakan melakukan reorganisasi ini tentulah
            pilihan yang sangat beresiko. Sistem sosial-politik semula
            yang terbangun atas dasar penguasaan tanah dan relasi kete-
            nagakerjaan bisa menjadi goyah. Dari perspektif ini, Keraton
            Yogyakarta lebih banyak dirugikan.
                Bukan itu saja, tatkala tanah dimiliki secara formal dan
            dapat diwariskan secara turun temurun (erfelijk individueel

            gebruikrecht) dan menjadi komoditas perdagangan baik secara
            temporer (sewa-gadai) ataupun permanen (jual-beli putus)
            sebagaimana terjadi pada era malaise global yang juga mener-
            pa Yogyakarta, tanah terlepas dari sendi-sendi ikatan sosial-
            kultural-politiknya. Terbukti, pasca Reorganisasi bermun-
            culanlah sengketa-konflik yang disebabkan pewarisan,
            penjualan tanah, dan gugatan rakyat atas priyayi akibat peru-
            bahan sistem tersebut, meski bukan berarti sistem penguasa-
            an tanah sebelumnya tanpa masalah.
                Jika demikian, menarik pula melihat dari mana inisiatif
            Reorganisasi itu muncul, untuk kepentingan siapa, serta apa
            konteks yang melatarinya. Di sinilah diperlukan pemahaman
            menyeluruh agar peristiwa Reorganisasi itu tidak dipandang
            sebagai “retakan” di dalam perjalanan sejarah yang kemun-
            culannya tanpa sebab dan proses sehingga dianggap sebagai
            deviasi baik dalam pengertian positif ataupun negatif.
                Penetrasi ekonomi kolonial yang berkembang melalui
            perkebunan di atas tanah-tanah kerajaan di vorstenlanden pada
            era sebelumnya, menapaki tahapan yang berbeda memasuki
            abad ke-20. Di abad ini, politik etis menjadi argumen utama


            viii
   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14