Page 98 - Nanos Gigantum Humeris Insidentes: Sebelum Meneliti Susunlah Bibliografi Beranotasi dan Kajian Pustaka
P. 98

priyayi ataupun peryayi yang juga dikenal dalam karya-karya sastra
                sejarah Sunda pada pergantian abad ke-19 dan abad ke-20. Pada
                mulanya istilah priyayi dipergunakan untuk menyebut tukang

                mengantar surat di kabupaten kemudian dipergunakan untuk
                menyebut  menak  lama, seperti dapat dibaca dalam  Piwoelang
                Barata Soenoe. Kemudian pada ke-20, istilah priyayi dipergunakan
                untuk menyebut pegawai pemerintah pada umumnya (ambtenar),
                tanpa memperhatikan apakah ia memiliki gelar kebangsawanan
                atau tidak.

                     Dalam menguraikan pemakaian gelar di kalangan
                bangsawan Jawa, Palmier tidak cukup terinci dan hanya
                mengandalkan sumber yang ditulis oleh L.W.C. Van den Berg
                yang berjudul De Inlandsche Rangen en Titels op Java en Madoera
                (1887), tanpa membandingkan dengan sumber pribumi, padahal
                Van den Berg tidak dapat membedakan jenjang jabatan, gelar,
                dan sebutan. Selanjutnya masalah sopan-santun dan pemakaian
                bahasa yang disinggung sepintas, padahal soal ini amat penting

                dalam kehidupan priyayi Jawa. Soal etiket ini menyangkut gaya
                hidup yang menjadi pembeda status sosial priyayi dan status
                sosial golongan rakyat biasa. Soal simbol pun (termasuk simbol
                status dan kekuasaan) yang amat mewarnai kehidupan priyayi
                hampir tidak disinggung sama sekali.

                     Karya selanjutnya adalah buah pikiran Heather Sutherland
                yang berjudul  Terbentuknya  sebuah  elite  Birokrasi  (terj.) yang
                berjudul aslinya adalah The Making of  a Bureaucratic Elite (1979).
                Karya ini mengungkapkan sisi-sisi kehidupan elite birokrasi
                di Jawa. Dalam buku ini disinggung pula tokoh-tokoh menak
                Priangan yang menonjol. Sebagai suatu karya peneliti asing
                yang tidak memahami sepenuhnya sosio-kultur pribumi, seperti
                diakui sendiri oleh penulisnya, tidak bisa diharapkan bahwa

                karya sejarah ini dapat menampilkan sudut pandang “dari




                                           63
   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103