Page 6 - MODUL JUAL BELI
P. 6
fikih kemudian menentukan secara lebih detail tentang rukun-rukun dan syarat- syarat
yang harus dipenuhi dalam transaksi ‘ariyah.
Ilmu fikih secara detail membahas tentang rukun-rukun ‘ariyah. Berikut ini
adalah rukun-rukun ‘ariyah.
1. Mu’ir
Mu’ir adalah pihak yang meminjamkan atau mengizinkan penggunaan barang
untuk dimanfaatkan oleh orang lain. Beberapa syarat yang harus ada pada mu’ir yaitu:
a. Ahli al-Tabarru, yakni memiliki hak penuh untuk memberikan izin atas pemanfaat-
an barang;
b. Mukhtar, yakni tidak dalam keadaan dipaksa oleh pihak lain. Akad ‘ariyah hanya
sah dilakukan jika meminjamkan barang pada orang lain itu atas dasar inisiatif
sendiri bukan atas dasar tekanan.
2. Musta’ir
Musta’ir adalah pihak yang meminjam barang atau orang yang mendapat izin
untuk menggunakan barang. Beberapa syarat yang harus ada pada musta’ir adalah
sebagai berikut:
a. Sah mendapat hak penggunaan barang setelah melalui akad tabarru’. Seseorang
yang tidak melewati akad tabarru’ maka tidak dapat dianggap sebagai musta’ir
sehingga ia tidak bisa menggunakan barang untuk diambil manfaatnya.
b. Mua’yan, yakni jelas dan tertentu. Orang yang meminjam harus jelas identitasnya,
nama dan alamatnya, serta identitas-identitas lain yang menutup kemungkinan
untuk menghilangkan barang atau menghilangkan kemungkinan pengrusakan atas
barang tanpa tanggung jawab.
3. Musta’ar
Musta’ar adalah barang yang dipinjamkan. Jadi, barang yang manfaatnya sudah
diizinkan untuk dipergunakan oleh musta’ir disebut sebagai musta’ar. Beberapa syarat
yang harus ada dalam musta’ar adalah sebagai berikut:
a. Berpotensi dimanfaatkan. Jadi, barang yang tidak mengandung nilai guna atau nilai
manfaat maka tidak bisa dipinjamkan;
b. Manfaat barang merupakan milik pihak mu’ir. Jika manfaat barang bukan milik
mu’ir, maka barang tersebut tidak bisa dipinjamkan. Contoh, sepetak lahan
disewakan oleh A kepada B. Sekalipun lahan tersebut berstatus milik A, tetapi
manfaatnya sudah milik pihak B. Jadi, C sudah tidak bisa mengambil manfaat pada
lahan itu.
c. Syar’i, yaitu pemanfaatannya sudah legal secara agama. Jika suatu barang mengan-
dung nilai guna yang tidak dibenarkan oleh agama, maka tidak boleh dipinjamkan.
d. Maqsudah, yaitu manfaat barang memiliki nilai ekonomis. Jika ghairu maqsudhah,
maka barang tidak bisa dipinjamkan. Misalnya, sebutir debu atau lainnya.
e. Pemanfaatannya tidak berkonsekuensi mengurangi fisik barang.
4