Page 9 - MODUL JUAL BELI
P. 9

D. Konsekuensi Hukum ‘Ariyah

                        1.  Pertentangan Perspektif Antara Mu’ir dan Musta’ir
                           Barang pinjaman atau musta’ar adalah barang yang bisa mendatangkan manfaat
                     bila dipakai dalam jangka waktu tertentu dan di ruang tertentu. Barang tersebut pada
                     dasarnya adalah milik dari seorang pemberi pinjaman atau mu’ir, dan berpindah tangan
                     kepada orang yang meminjam atau musta’ir. Apabila di tengah perjalanan tiba-tiba
                     ada perubahaan perasaan dari mu’ir, bolehkah dirinya menarik barang yang menjadi
                     hak miliknya tersebut? Apakah musta’ir wajib mengembalikan barang pinjamannya,
                     padahal belum habis waktu yang disepakati atau bahkan belum sedikitpun mengambil
                     manfaat dari barang tersebut?
                           Untuk  menjawab  pertanyaan  di  atas,  perlu  terlebih  dahulu  mengerti  hakikat
                     status kepemilikan barang pinjaman atau musta’ar. Menurut mayoritas ulama, barang
                     pinjaman yang ada di tangan musta’ir berstatus sebagai semi-hak milik (milk ghair
                     lazim). Sebab, barang yang bersangkutan adalah hak milik penuh dari mu’ir. Konseku-
                     ensi pandangan mayoritas ulama tersebut adalah bahwa mu’ir dapat menarik barang
                     hak  miliknya  yang  dipinjamkan  pada  orang  lain  tersebut  kapan  saja  dan dimana
                     saja. Hal  yang  serupa berlaku pada musta’ir   yang boleh mengembalikan barang
                     pinjamannya  itu  kapan  saja  dan  di mana  saja  sesuai  yang  dia  kehendaki.
                           Pendapat lain datang dari ulama Mazhab Malikiyah yang mengatakan bahwa
                     seorang mu’ir tidak boleh menarik barangnya yang sudah dipinjamkan kepada orang
                     lain sebelum barang tersebut mendatangkan manfaat atau telah digunakan (Bidayah
                     al-Mujtahid,  jilid  2,  hlm.  308,  Hasyiyah  ad-Dasuqi,  jilid  3,  hlm.  439).  Perbedaan
                     pendapat antara mayoritas ulama dan mazhab Malikiyah ini harus dipahami dengan
                     benar. Penyelesaian konflik sosial dapat dilihat dari dua sudut pandang ini. Misalnya,
                     jika  seseorang  yang  bernama  (A)  meminjam  suatu  barang  terhadap  orang  yang
                     bernama  (B),  maka  (A)  boleh  menarik  barang  itu  kapan  saja  dan  di  mana  saja.
                     Demikian pula (B) boleh mengembalikannya kapan saja dan di mana saja. Hal ini
                     tidaklah  menimbulkan  konflik  sosial  jika  (A)  dan  (B)  sudah  sama-sama  mengerti.
                     Tetapi, jika (A) dan (B) terjadi konflik atau permusuhan sebelum barang digunakan
                     maka mereka sebagai mu’ir dan musta’ir akan memperebutkan barang pinjaman. A
                     pasti ngotot untuk menarik barang dari B, sedangkan B ngotot untuk tidak mengem-
                     balikan barang dengan alasan belum memanfaatkannya sedikitpun. Mazhab Malikiyah
                     dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus seperti ini. Dengan kata lain, A wajib
                     mengalah  dan  memberikan  kesempatan  bagi  B  untuk  memanfaatkan  barang  yang
                     dipinjamnya.
                        2.  Pertentangan Klaim Antara Mu’ir dan Musta’ir
                           Pertentangan klaim sering terjadi. Berikut ini adalah aspek-aspek yang sering
                     terjadi di masyarakat:
                     a. Pertentangan klaim soal jenis akad dan kesepakatan;
                     b. Pertentangan klaim soal barang yang hilang atau rusak;
                     c. Pertentangan klaim soal pengembalian.






                                                                                                      7
   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13   14