Page 172 - Ayah - Andrea Hirata
P. 172

Ayah ~ 159


                 “Ojeh, Boi.”

                 “Bilang juga, kalau dia mau melihat medali itu, silakan
            saja, dengan senang hati akan kutunjukkan padanya. Tak ada
            keberatan sama sekali.”
                 “Ojeh, Boi.”
                 Berikutnya, Zuraida pening karena Sabari bertanya te-

            rus bagaimana tanggapan Lena soal medalinya itu.
                 “Belum ada jawaban!” Zuraida jengkel. “Kalau ada ja-
            waban, nanti kusampaikan padamu, tunggu saja!”
                 Seminggu kemudian Zuraida tersenyum kepada Sabari.
            Tergopoh-gopoh Sabari menghampirinya.
                 “Pasti Lena sudah menjawab, ya.”
                 “Sudah.”
                 Sabari gugup.

                 “Apa jawabannya, Boi?”
                 “Jawabannya, no comment!”
                 Tak habis akal, Sabari menempuh jalan yang pasti ber-
            hasil menarik perhatian belahan jiwanya itu, yaitu, dia sudah
            tahu Lena suka lewat jalan sebelah mana di pekarangan ru-

            mahnya, dia pun sudah hafal jadwalnya. Diletakkannya me-
            dali itu di tengah jalan, seolah-olah telah terjatuh dari saku-
            nya.
                 Sabari bersembunyi di balik pohon mengkudu, berde-
            bar-debar menunggu Lena lewat. Namun,  yang lewat ter-
            bungkuk-bungkuk adalah nenek Lena. Dilihatnya medali itu,
            dipungutnya. Bingung dia melihat benda berkilauan, kalau
   167   168   169   170   171   172   173   174   175   176   177