Page 173 - Ayah - Andrea Hirata
P. 173

160 ~ Andrea Hirata


          tak buru-buru dicegah Sabari, hampir saja nenek melempar-

          kan medali itu ke dalam parit.
              Berbagai upaya untuk menarik perhatian Lena soal me-
          dali itu telah gagal. Namun, Sabari tak berkecil hati. Tahun
          depan dia ingin menjadi karyawan teladan lagi, begitu pula
          tahun depannya,  dan tahun depannya lagi.  Kalau  dia bisa

          menjadi karyawan teladan selama tujuh tahun berturut-turut,
          tak mungkin Lena tak tahu.






          Selebihnya, semua berlangsung seperti sediakala.  Sabari
          bangun subuh, mengurus kambing, bekerja, merasa berun-
          tung jika sekilas saja dapat melihat Lena, pulang, mengurus

          kambing lagi, ngobrol dengan ibunya, mendorong kursi roda
          ayahnya ke dermaga, saling bercerita dan berbalas puisi sam-
          bil menyaksikan matahari terbenam di muara, malamnya du-
          duk di beranda, menyaksikan cahaya bulan jatuh di padang
          ilalang. Dia merindukan Lena hingga jatuh tertidur sambil

          menggenggam pensil. Keesokannya terbangun, dia masih
          menggenggam pensil itu.
              Hari berganti minggu, minggu menjadi bulan, lancar
          dan tenteram, tak terjadi hal luar biasa sampai suatu hari
          Markoni dibisiki Buncai di warung kopi Kutunggu Jandamu,
          tentang siapa sebenarnya lelaki buruk rupa, berkening lutung,
          bergigi tupai, bernama Sabari itu.
   168   169   170   171   172   173   174   175   176   177   178