Page 169 - Ayah - Andrea Hirata
P. 169

156 ~ Andrea Hirata


              Tepuk tangan meriah lagi.

              “Kesimpulannya,  pertama,  dengar  baik-baik  nasihat
          ayahmu. Kedua, pabrik batako kita ini adalah tulang pung-
          gung pembangunan sekolah. Maka, buatlah batako yang kuat,
          liat, tangguh, macam kawan kita kuli mentah Sabari ini.”
              Sabari tersenyum bangga.

              “Ketiga, juga seperti Sabari, jujur! Jangan kau kurangi
          takaran semen jika mencetak batako. Batako kita harus ta-
          han gempa bumi minimal tujuh skala Richter. Kalau kau cu-
          rang, akibatnya bisa fatal. Sekolah bisa roboh, murid-murid
          dan guru-guru yang mulia bisa celaka. Biarlah orang-orang di
          luar sana makmur sentosa karena mencuri, kita jangan! Meski
          susah, kita harus jujur.”
              Tepuk tangan bergema lagi. Markoni terkenal keras,

          tetapi sangat adil kepada karyawannya, karena itu dia amat
          dicintai.
              “Cerdik cendekia berkata, kejujuran bermula dari pela-
          jaran di sekolah, mereka tak keliru, tapi kurasa perlu ditam-
          bah bahwa kejujuran  bermula  dari  kejujuran  membangun

          sekolah. Apakah kalian para kuli setuju?”
              Teriakan setuju gegap gempita.
              Markoni memberi kode lagi, sekretaris mendekati dan
          menyerahkan sebuah medali. Jauh-jauh di Pangkal Pinang,
          Markoni memesan medali besar dengan sepuhan warna ku-
          ning, demi mengapresiasi karyawan terbaiknya.
   164   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174