Page 177 - Ayah - Andrea Hirata
P. 177

164 ~ Andrea Hirata


              “Mengapa kau tidak membela diri?! Ayo, Boi! Kita ber-

          tengkar! Aku sedang ingin bertengkar! Mana puisi pembela-
          anmu?!”
              Sabari menunduk.
              “Sebelum minum kopi aku tak bisa membuat puisi, Pak.”
              “Oh, ini kopiku!” Markoni mengambil gelas kopi di me-

          janya, diberikannya kepada Sabari. “Minum! Minum!”
              Sabari mengambil gelas itu dan minum, wajahnya me-
          ngerut. “Telalu pahit, Pak.”
              Markoni menggeleng-geleng. “Maksudmu, kau tak bisa
          membuat puisi karena kopi itu terlalu pahit?!”
              Sabari mengangguk.
              Markoni mengempaskan tubuhnya ke tempat duduk.
          Lama ditatapnya Sabari yang menunduk saja. Dia segera sa-

          dar orang seperti apa yang ada di depannya itu.
              “Boi, sudah berapa lama kau suka sama Lena?” Nada
          suara Markoni turun dua oktaf.
              Sabari melirik jam bulat yang tertempel di dinding.
              “11 tahun, 5 bulan, 4 hari, 3 jam ... 4 menit, Pak.”

              Markoni terpana.
              “Apakah Marlena suka sama kau, Boi?”
              Sabari tersenyum-senyum simpul.
              “Wajar-wajar! Kalau kutinjau-tinjau, wajahmu memang
          agak berat, Boi. Muka bulat tak punya dagu, bibir macam
          dilemparkan sekehendak hati saja oleh seseorang sambil naik
          sepeda, lalu mendarat di bawah hidungmu yang bentuknya
   172   173   174   175   176   177   178   179   180   181   182