Page 32 - Ayah - Andrea Hirata
P. 32

Ayah ~ 19


                 Memang sempat Markoni berangkat ke Tasikmalaya

            dan masuk sekolah radio itu, tetapi kerjanya berleha-leha.
                 “Cuma dua tahun, bersabarlah,”  kata ayahnya agar
            Markoni menamatkan sekolah D-2 itu. Namun, tak ada kesa-
            baran dalam diri Markoni. Dia pulang ke Belitong, bukannya
            membawa ijazah, dia membawa istri.

                 Tak lama kemudian ayahnya meninggal dan mulai saat
            itulah Markoni kena tampar kenyataan hidup yang sebenar-
            nya. Menanggung istri dan anak, tanpa dukungan orangtua,
            tanpa pekerjaan, tanpa pengalaman, tanpa ijazah memadai.
            Air dingin di dalam gelas macam mendidih, begitu Markoni
            menggambarkan krisis hidupnya kepada seorang kawan.
                 Melamar kerja di sana sini ditolak. Usaha ini gagal, usa-
            ha itu merosot. Memang ada lowongan kerja di kapal, perusa-

            haan pelayaran atau lowongan di bagian mekanikal elektrikal
            rumah sakit daerah, tetapi memerlukan ijazah paling tidak
            sarjana muda.
                 Harus menyokong keluarga, Markoni tak bisa dan tak
            boleh menyerah. Dibukanya warung sembako, gulung tikar,

            warung makan, habis modal, bengkel motor, lebih banyak
            pengeluaran  ketimbang pendapatan, kaki lima, kena uber
            polisi pamong praja, warung sayur, macet, jual batu  satam,
            kena tipu, jual bakso, kalah saingan, jual minyak tanah, kena
            kurung polisi, jual kupon judi buntut, takut sama api neraka.
                 Usaha rental alat musiknya berakhir secara mengerikan
            karena orang-orang udik dari Belantik, yang mau belajar mu-
   27   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37