Page 126 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 126

"Istimewa sekali Presiden pada bung. Ada apa?" kata Rosihan setelah kami di luar
                   ruangan itu.

                   Mana aku bisa tahu apa yang terkandung dalam hati Presiden. Lalu saya jawab saja
                   sekenanya: "Barangkali Presiden bersimpati karena aku satu-satunya yang
                   memakai batik buatan dalam negeri. Atau...."

                   "Atau apa?"

                   "Mungkin Presiden memberi isyarat pada ajudan: Perhatikan betul orang ini."

                   "Isyarat yang baik, kalau begitu." kata Rosihan pula.

                   Hampir tengah malam Zaim muncul di ambang pintu kamar hotel. Wajahnya alangkah
                   cerianya. Tangan kananku digenggamnya dengan kedua belah tangannya, lalu
                   diciumnya. Aku merasa rikuh sekali, selain karena tidak biasa juga tidak suka
                   mendapat perlakuan seperti itu. Apalagi dari sesama seniman. Lalu katanya: "Berkat
                   pertolongan Bapak, terkabullah doa saya. Ketemu Presiden."

                   "Bagaimana dengan jasnya?" tanyaku tanpa tahu apa yang harus aku katakan
                   menyambut kegembiraannya.

                   "Tidak jadi aku jual, Pak. Ini jas keramat. Masa dijual. Akan aku simpan baik-baik."
                   katanya. Setelah diam seketika dia berkata lagi. "Uang Bapak nanti aku bayar kalau
                   lumsum sudah diterima. Boleh 'kan, Pak?"


                   Oleh karena begitu kata Zaim, aku akan tidak bisa keluar hotel sampai kongres
                   selesai dengan sisa uang dalam kantong. Aku tidak menjawab. Namun dalam hatiku
                   hanya bisa berkata: "Zaim. Zaim."

                   Kayutanam, 6 Maret 1998



























                                                      Negeri Unggun
                                                     Tribute To Banksy
   121   122   123   124   125   126