Page 124 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
        P. 124
     "Kalau begitu kita sama."
                   "Tapi aku ingin pergi. Ingiiin sekali."
                   "Ke istananya atau ketemu presiden?"
                   "Dua-duanya."
                   Kami terdiam lagi. Dia terus menelentang di tempat tidur, dan saya terus nonton acara
                   televisi.
                   "Kata Si Tarji, di Pasar Rumput ada dijual baju bekas. Pagi-pagi aku sudah harus ke
                   sana. Naik taksi supaya bisa keburu, katanya."
                   "Tentu." kataku seadanya.
                   Kami sama diam lagi. Dia masih menelentang di tempat tidur dan aku masih terus
                   nonton. Kemudian dia bangun dan hilir mudik dari tempat tidur ke pintu. Tiap
                   sebentar dia menggaruk belakang kepalanya. Barangkali dia punya persoalan rumit
                   yang ingin dia sampaikan. Kiraanku benar. Karena tak lama kemudian dia berkata
                   seperti kepada diri sendiri: "Menurut Tarji, sewa taksi ke sana pulang pergi sepuluh
                   ribu. Harga jas bekas, mungkin empat puluh ribu. Jas itu bisa dijual lagi dua puluh
                   lima ribu. Kata panitia, lumsum baru bisa dibayar pada hari terakhir. Celaka. Huhh.
                   Padahal aku ingin sekali ketemu Presiden. Di istana lagi. Tak akan ada kesempatan
                   lain buat aku bisa ketemu Presiden kalau tidak sekarang. Huhh."
                   Aku maklum sudah pada ujung omonganya, dia mau pinjam uang. Dan sebelum dia
                   berkata lagi, aku katakan bahwa saya bisa pinjamkan dia uang.Aku keluarkan
                   dompetku dan aku hitung isinya. "Kamu boleh pakai separoh." Jumlah yang separoh
                   itu tidak lebih dari dua puluh lima ribu rupiah.
                   Zaim lalu melompat untuk memeluk aku, sehingga kursi yang aku duduki hampir
                   terjungkal. "Terima kasih, Pak. Terima kasih. Dua puluh lima ribu sudah cukup. aku
                   punya tiga puluh ribu. Jadi paslah."
                   Pagi-pagi Zaim sudah keluar. Aku santai-santai saja ke ruang makan untuk sarapan.
                   Semua peserta yang akan ke istana sudah siap-siap dengan stelan jasnya. Seperti
                   anggota MPR yang akan disumpah layaknya. Padahal waktu itu baru lebih sedikit
                   pukul delapan. Ketika aku baru saja mulai sarapan, seorang panitia mendekati. "Pak,
                   cepat, Pak. Kita sudah harus berangkat pukul sembilan."
                   "Tapi aku tidak ikut." kataku.
                   "Tidak bisa, Pak. Tidak bisa. Nama Bapak sudah dikirim. Karena itu harus ikut, Pak."
                   "Aku tidak punya jas. Aku cuma punya baju batik."
                   "Waduh, Pak. Nanti bila ditanya sekuriti, repot, Pak." katanya lagi.





