Page 121 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
        P. 121
     Pak Kari ragu-ragu untuk melakukan sesuatu.
                   "Oh, basah benar topimu itu. Kasihan, ya?" kata masinis itu selanjutnya.
                   "Ya, Pak. Jatuh masuk sungai. Untunglah tidak jatuh ke tengah. Untunglah di tepi
                   saja," kata Pak Kari yang mulai sedikit lega karena kata-kata simpati masinis itu.
                   "Kasihan sekali," kata masinis itu mengulangi kata-katanya seraya menggeleng-
                   gelengkan kepala seperti orang terharu sangat. Sedangkan lidahnya berdecak-decak.
                   "Kena air topi ini basah. Kena api bagaimana?" Serentak dengan itu dibukanya pintu api
                   lok itu, dan secepat itu pula dilemparkannya topi helm itu ke dalam api yang sedang
                   nyala. Lalu dia memandang pada Pak Kari yang terkejut melihat peristiwa yang tak
                   disangkanya itu. "Ah, topi biasa saja topimu itu, Kari. Kena air basah. Kena api hangus
                   juga."
                   Pak Kari yang kekuyupan pada pagi hari di lembah pegunungan itu, tidak merasa dingin
                   lagi dengan tiba-tiba. Ia merasa begitu panasnya oleh bakaran api di dalam dadanya.
                   Perbuatan memanggang topi helmnya itu tidak dapat dimaafkannya begitu saja. Tapi
                   ketika itu ia tidak tahu bagaimana melampiaskan sakit hatinya. Maka ia diam saja,
                   seperti biasa ia menunjukkan kesabarannya yang terkenal itu.
                   Dan sebelum Pak Kari sadar pada apa yang tengah terjadi atas dirinya, masinis telah
                   menghardiknya lagi, "Ayo, pergi kau, Babi!"
                   Hari datang hari pergi. Semua orang sudah lupa pada peristiwa topi helm Pak Kari.
                   Malah orang pun lupa sudah bahwa pada suatu kali Pak Kari pernah menjunjung topi
                   helmnya Tuan O.M., Tuan O.M. yang ditakuti mereka. Orang juga lupa, oleh topi helm
                   itu Pak Kari pernah hendak mengamuk, bahwa Pak Kari pernah meninggalkan
                   gerbongnya karena topi helmnya jatuh dilanggar pelengkung jembatan sehingga orang
                   menyangka Pak Karilah yang terlanggar dan jatuh ke batang air seperti Si Buyung pada
                   masa lalu. Andaikata sesekali orang ingat kembali, segera orang melupakannya lagi.
                   Akan tetapi sekali hari, ketika Pak Kari sedang bekerja mengeruk-ngeruk tahi arang
                   dari lambung lok di stasiun Kayutanam, tiba-tiba ia melihat seorang mandor jalan
                   kereta api. Mandor itu memakai topi helm. Topi helm yang persis sama dengan topi
                   helmnya. Topi helm yang terbakar hangus dalam tungku api di lambung lok itu juga.
                   Dan ketika matanya mengalih ke dalam tungku api di lambung lok, di mana apinya
                   sedang garang menyala, Pak Kari seperti melihat topi helmnya yang dulu lagi. Menari-
                   nari oleh nyala api. Dan kemudian seperti terlihat dirinya di bawah topi yang menari-
                   nari dalam nyala api itu. Dirinya sendiri yang berwajah setampan Tuan O.M. jika
                   mengenakan topi helm. Ingat itu, ia pun ingat pada suatu peristiwa di rumah Tuan
                   O.M.
                   Ketika itu Pak Kari tidak berdinas. Perai mingguan. Seperti biasanya, sekali dalam
                   sebulan, ia disuruh Tuan O.M. ikut membantu membersihkan rumah, halaman, dan ada
                   kalanya juga mengeping kayu api di rumah sepnya itu. Dalam ia lagi mengeping kayu
                   api hingga menjadi kecil-kecil, didengarnya teriakan Nyonya Gunarso di kamar mandi.
                   Ia buru-buru mendapati perempuan itu, yang lagi terhenyak duduk di lantai kamar
                   mandi sambil mengurut-urut pinggang dan nyengir-nyengir kesakitan. Pak Kari tak tahu





