Page 116 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
        P. 116
     melenyapkan rasa kuyu di hatinya, datanglah panggilan dari Tuan O.M. untuknya. Dan
                   Si Kingkong itu kini merasa telah menjadi kera.
                   Demikianlah kisahnya. Tapi semenjak itu Tuan O.M. tidak lagi memakai helmnya.
                   Entah karena topi itu sudah tua, entah karena ia sudah tahu orang-orang mengejeknya
                   dengan topi helm yang besar itu, tidak seorang pun yang tahu.
                   Namun setahun kemudian topi helm itu tidak punya wibawa benar-benar lagi. Yaitu
                   semenjak kepala Pak Kari yang menjunjungnya. Di waktu topi helm itu berpindah
                   kepala, sebenarnya terjadilah peristiwa penting atas keluarga Tuan O.M. Topi itu tiga
                   tahun yang lalu dibelinya di Semarang, ketika ia dipindahkan ke kota kecil Padang
                   Panjang. Kota penghujan itu menjadikan topi itu lekas tua. Dan untuk penggantinya di
                   kota itu tidak mungkin, karena tidak ada orang jual. Meski topi helm itu telah tinggal
                   tergantung di kapstok di rumahnya, namun julukan "Si Topi Helm" masih juga lengket
                   pada Tuan O.M. sampai ia dipindahkan ke Bandung.
                   Pada waktu buruh bengkel kereta api yang dikerahkan R.M. Gunarso sibuk mengepak
                   perabotan rumah yang akan dibawa pindah, topi helm yang tua itu sampai terlupakan.
                   Barulah ketika rumah itu sudah kosong, Nyonya Gunarso melotot melihat sang topi
                   tergantung sendiri pada paku di dinding.
                   "Kenapa ini bisa kelupaan, Pap?" tanya perempuan itu. "Kaupakai sajalah, ya. Sayang
                   kan kalau dibuang."
                   "Ah, jangan, ah. Masa pembesar bawa topi begini ke kapal. Malu, ah. Mam."
                   "Habis? Mau dibikin apa? Semua barang-barang sudah dimasukkan ke peti. Dan peti-peti
                   sudah diangkut ke stasiun."
                   Dan mata Tuan O.M. melirik kepada bawahannya yang telah membantu mengepak
                   barang-barangnya. Semua ia kenal baik, yakni para tukang rem. Kepada siapa harus
                   diberikan supaya adil, pikirnya. Ia ragu-ragu menetapkan. Tapi ketika matanya
                   tertumbuk kepada Pak Kari, sesuatu pada jantung orang tua itu terasa bergetar.
                   "Daripada dibuang, Mam, apa tidak sebaiknya kalau diberikan kepada mereka saja?"
                   kata Tuan O.M. minta musyawarah istrinya.
                   Dan Pak Kari menatap mata perempuan itu dengan nanap, seperti ada suatu perjanjian
                   antara mereka, bahwa topi itu seharusnya buat dia diberikan perempuan itu.
                   Tapi perempuan itu berkata, "Coba dulu siapa yang pas betul."
                   Tuan O.M. mengedarkan pandangan ke semua bawahannya seorang demi seorang,
                   sehingga para tukang rem itu berdegupan darahnya oleh harapan bakal mendapat topi
                   helm itu. Akhirnya masing-masing mencobakan topi itu di kepala mereka berganti-
                   ganti. Dan kebetulan, ya kebetulan sekali, Pak Kari yang sama pendeknya dengan Tuan
                   O.M. memiliki kepala yang sama besarnya pula, sehingga topi helm itu haknya.
                   Sedang Pak Kari nyengar-nyengir kegirangan oleh rezekinya itu, tiba-tiba perempuan
                   itu berkata, " Ah, Kari. Gagah betul kau. Tapi jangan berlagak lakiku pula kau."





