Page 112 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 112
"Tulisan siapa yang pernah aku baca dulu? Hasan, Roem, Natsir atau siapa, ya?
Katanya, Nabi tidak menyuruh orang berpesta untuk merayakan Idulfitri. Melainkan
berzakat dan takbiran. Tapi kebudayaan baru menjadikannya lain. Acara takbir
dijadikan acara tontonan di lapangan. Pakai musik segala. Takbir bukan lagi ibadah
pribadi, melanikan dijadikan pesta dunia dengan biaya milyaran rupiah. Sepertinya
uang sebanyak itu tidak lagi berfaedah untuk orang miskin.
Sebetulnya Idul Adha tak kurang mulianya. Bahkan lebih. Kewajiban inti pada kedua
hari raya itu membantu orang miskin. Pada Idul Fitri memberi zakat firah. Sedangkan
pada Idul Adha memberi Qurban senilai seekor kambing."
Inyik terbatuk-batuk. Setelah minum sereguk air, renungannya melanjut: "Waktu jadi
gubernur dulu, aku mencoba merobah tradisi lama itu. Mengikis keduniawian pada
acara ritual itu. Aku minta ulama mengeluarkan fatwanya. Sebagai kepala
pemerintahan aku dipojokkan. Kolegaku menyalahkan aku dengan kata-kata durjana:
"Biarkan saja agama begitu, asal stabiltas terjamin."
"Sabir juga tidak pulang. Katanya, dia harus berlebaran ke rumah menterinya yang
baru. Menteri bisa salah sangka kalau dia tidak datang. Aku maklum alasannya. Untuk
keamanan jabatannya. Dulu ketika ayahnya jadi gubernur, aku pun dendam jika ada
bawahannya tidak datang berlebaran ke gubernuran. Terlambat datang pun jadi
pertanyaan dalam hatiku." kata Encik melanjutkan kata hatinya. Dan dia terus
merunut satu demi satu alasan anaknya tidak bisa pulang berlebaran. Melani karena
tidak mendapat tiket pesawat. Sofi karena suaminya belum bisa kembali dari Eropa.
Sedangkan Gafar lain lagi alasannya. Pikiran Inyik masih terus menerawang. Katanya:
"Lima tahun jadi gubernur, sesungguhnya tidak cukup waktu untuk merobah tradisi
yang usang. Akan tetapi menjadi gubernur lebih lama, akulah yang akan menjadi
usang. Kiayi Marzuk mengatakan kepadaku: "Kalau mau jadi pemimpin, teladani Nabi.
Nabi diberi waktu dua puluh tiga tahun oleh Tuhan.
Ketika berhenti karena umurnya sampai, beliau tetap seperti Muhammad sebelum
menjadi Nabi. Tidak kaya raya seperti umumnya diktatur yang berkuasa. Kalaupun
punya warisan, semuanya dihibahkan menjadi wakaf untuk umatnya. Itu yang
pertama. Kedua, sebagai pemimpin umat umurnya dibatasi Tuhan sampai enampuluh
tiga tahun saja. Jika lebih dari itu, kondisi mental dan fisiknya sudah menurun dan
terus menurun. Bagaimana nasib umat dibawah pimpinan yang pikun?
Dan bagaimana umatnya meneladani perilaku Nabi apabila diakhir hidupnya kepikunan
lebih menonjol. Apakah tidak akan terjadi kekacauan pada kehidupan umatnya?"
Tiba-tiba Inyik merasa dadanya sesak. Dia mengalaikan kepala ke sandaran kursi.
Beberapa saat kemudian dia berdiri. Kursi yang ditinggalkannya terus bergoyang. "Aku
lelah, Jurai, Aku mau berbaring dulu." katanya kepada isterinya sambil melangkah
dengan gontai.
"Aku juga." kata Encik hampir tak berdaya. "Rasanya hari lebaran ini terlalu panjang.
Coba kalau anak-anak kita disini semua, waktu dirasakan terlalu singkat."

