Page 114 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
        P. 114
     "Dalam peribahasamu ada ungkapan: "Patah tumbuh, hilang berganti. Masa kau lupa."
                   kata tamu itu
                   "Pengganti belum tentu sebaik yang digantikan." Inyik menggugat.
                   "Tergantung pada perilaku kepemimpinanmu. Kalau kau berkuasa seperti diktator,
                   akan terjadi kekacauan pada ujung kekuasaanmu. Pemimpin pengganti akan
                   didambakan dengan sorak gembira oleh rakyat. Apabila kepemimpinanmu berganti
                   pada kondisi yang baik, kau akan selalu dikenang dengan segala kekaguman oleh
                   rakyat." kata tamu itu.
                   Inyik merasa tamu itu menguliahinya. Harga dirinya tersinggung. Maunya dia marah.
                   Tapi ada rasa tak berdaya pada dirinya. Dialihkannya pembicaraan. "Engkau ke sini
                   berlebaran, bukan?"
                   "Ada sedikit urusan dengan isterimu."
                   "Bagaimana dia?"
                   "Kursinya tidak bergoyang lagi."
                   Inyik lama termangu sambil membolak-balik makna ucapan tamu itu. Tiba-tiba dia
                   sadar bahwa tamu itu tidak lain dari Sang Maut. Dia mencoba meraba-raba
                   perasaannya sendiri. Tidak ada perasaan apapun. Karena rasionya yang lebih kuat.
                   Bahwa manusia itu lahir, hidup dan akhirnya mati.
                   "Pantarai." desis dalam mulutnya ketika ingat pelajaran sejarah Yunani Kuno pada klas
                   terakhir sekolah menegahnya dulu. "Sudah tiba waktuku kalau begitu."
                   "Belum. Belum sekarang." kata tamu itu.
                   "Kalau waktuku belum akan tiba, aku mau kehadiranku tidak akan menyiksa hidup
                   bangsaku." kata Inyik pula dalam keragu-raguan.
                   "Tidak. Tidak akan. Karena kau tidak berkuasa lagi." kata tamu yang disangka Inyik
                   sebagai Sang Maut seraya keluar dari kamar.
                   Inyik yang berbaring lemas sendirian di bangku tidurnya masih mendengar samar-samar
                   gema takbiran dari pesawat televisi di ruang tengah.
                   Kayutanam, 21 Januari 1998
                                                       Topi Helm
                   Terjunjungnya topi helm di atas kepala Tuan O.M. menjamin kelancaran kerja di
                   bengkel kereta api di kota kecil Padang Panjang. Meskipun Tuan O.M. itu pendek, tapi
                   oleh topinya yang besar itu, tersandang jugalah wibawanya sebagai opseter mesin di
                   bengkel itu. Dan oleh bawahannya di lengketkan julukan Si Topi Helm atas Tuan O.M.
                   yang oleh ayahnya sendiri dinamai Gunarso. Malah pakai R.M. pula di depannya sebab
                   turunannya.





