Page 109 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 109
lalu malam yang semalam menjadi berketerusan. Dan rumah kecil di lereng bukit
peladangan tebu itu akhirnya berobah menjadi pos komando. Maka Si Dali beserta
temannya tergusurlah.
"Semalam saja. Aku capek setelah berhari-hari jalan terus." kata kapten itu pada
mulanya dia datang.
Mungkin karena sifat seorang komandan yang harus mampu bertindak tegas dan cepat,
maka sebelum tidur pada malam pertama ia datang, kapten itu melamar Si Montok
pada ayahnya. Tak obahnya orangtua itu seperti mendapat pohon durian rebah,
sehingga tidak perlu memanjat dulu untuk memetik buahnya. Maka lamaran kapten itu
diterima.
"Sekarang saja nikahnya." kata kapten itu selanjutnya.
"Tapi rumah kadi amat jauh." kata ayah Si Montok.
"Menurut agama, yang berhak menikahkan anak perempuannya, ayahnya sendiri,
bukan?" kapten itu memberi alasan.
Malam itu juga pernikahan itu terjadi. Si Dali ikut menjadi saksi. Dan malam itu juga Si
Dali dan temannya tergusur seolah seperti musuh datang menyerbu lagi. Bila dulu
mereka pergi begitu saja dari kota seperti seharusnya sudah begitu, maka kini Si Dali
pergi membawa gerutu dan caci-maki. Juga menyesali diri sendiri.
***
"Engkau pasti akan jadi ganjal batu* bila perang usai." kata Si Dali pada Si Montok
ketika mereka ketemu.
"Sama saja, Uda. Uda pun akan meninggalkan orang kampung ini bila perang usai."
kata perempuan itu.
"Itulah yang jadi pikiranku, maka aku tidak melamarmu.” kata Si Dali seperti membela
diri.
"Yang tidak Uda pikirkan, pikiranku."
"Apa yang jadi pikiranmu?" tanya Si Dali setelah lama merenung-renung maksud kata-
kata perempuan itu.
"Uda seperti tidak perlu perempuan. Padahal sudah lama aku ingin laki-laki." kata
janda yang baru saja menikah itu.
Tiba-tiba Si Dali nanar. Ketika ia sadar, Si Montok sudah berlalu membawa tubuh
sintalnya yang aduhai sambil menggerai-geraikan rambutnya yang habis keramas.
***

