Page 110 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 110
Sekitar masa setahun sehabis perang Si Dali menyukuri diri karena tidak sampai
menikahi Si Montok. Soalnya, setelah perang usai seluruh tentera kembali ke kota.
Maka tinggallah desa-desa yang telah memberi pelindungan hidup pada pejuang-
pejuang itu. Si Montok pun ditinggal. Sama seperti desanya. Maka orang kota, seperti
kapten itu juga, sama lupa pada desa-desa tersebut. Juga lupa pada janin yang sehat
pada perut Si Montok. Janin yang kemudian menjadi bayi laki-laki yang bugar.
Pada suatu hari, dengan perasaan sangat bangga, Si Montok datang ke kota menemui Si
Kapten yang telah jadi mayor untuk memperagakan anak mereka. Celakanya, Si
Montok menemui mayor di rumahnya. Tentu saja isteri mayor naik pitam ketika
mendengar bahwa bayi itu adalah anak suaminya yang dilahirkan Si Montok.
Diambilnya pestol yang tergantung di dinding kamar tidur. Diledakkannya. Pelurunya
bersarang di lengan kanan mayor. Ketika di rumah sakit, lengan itu dipotong. Karena
lengan telah pontong, mayor itu dipensiun.
Kedua perempuan itu sama menyesal di kediaman masing-masing. Isteri mayor
menyesal karena telah meledakkan pistol suaminya. Si Montok menyesal karena
membawa bayi kebanggaannya. Sedangkan mayor menyesali nasibnya sendiri. Namun
tidak diketahui apakah pistol itu pun ikut menyesal, karena selama perang tidak
pernah melukai musuh, tetapi sehabis perang melukai pemiliknya sendiri. Tentu saja
begitu, karena pistol itu memang tidak punya perasaan.
--------------------------------------------------------------------------------
* Ganjal batu, ialah batu pengganjal roda truk sarat muatan yang tiba-tiba mogok di pendakian. Ketika truk itu sudah
bisa jalan lagi, batu itu ditinggalkan begitu saja.
Kayutanam, 17 Desember 1996
Tamu yang Datang di Hari Lebaran
Sepasang orangtua yang rambutnya telah memutih memandang dari ruang tamu ke
jalan raya yang ramai oleh orang orang berbaju indah-indah dan baru. Berjalan kaki,
berbendi atau bermobil sebagaimana tradisi setiap lebaran Idul Fitri. Keduanya
memandang sambil bergoyang pelan di kursi goyang yang dipisahkan oleh meja kecil
bardaun marmar Itali.
Rumah kedua orang tua itu bangunan kayu model lama yang berkolong tinggi. Bercat
oker yang telah pudar warnanya. Kelihatan ganjil di antara sederetan bangunan
bergaya terkini. Mungkin karena sudah terlalu biasa dalam pandangan penduduk kota
kecil itu, tak terasa lagi ada keganjilan pada rumah itu. Setiap orang tahu siapa
penghuninya. Yaitu Inyik Datuk Bijo Rajo dan Encik Jurai Ameh. Lazimnya orang
menyebutnya Inyik dan Encik saja. Inyik dulunya seorang pejuang dan pernah menjadi
gubernur. Menurut istilah lama yang kini terpakai lagi, mereka "dikaruniai" enam orang
anak. Semua telah jadi orang terpandang di rantau. Pada hari tua yang sudah lama
terpakai mereka tinggal dengan sepasang pembantu yang telah puluhan tahun
bersamanya.
Pembantu yang laki-laki ialah paman Si Dali. Encik berkulit gelap dan bertubuh gemuk.
Hampir tidak dapat bergerak seleluasa maunya. Dan Inyik berkulit cerah, tapi

