Page 108 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 108

Si Montok

                   Untuk melanjutkan perjuangan setelah musuh menduduki semua kota, Si Dali
                   menyingkir ke sebuah desa di balik bukit peladangan tebu. Dengan dua teman sesama
                   prajurit Si Dali dapat menempati rumah yang berkamar satu. Tapi mereka tidak tidur
                   di kamar itu. Melainkan pada satu-satunya ruangan yang ada. Tidur berdesakan. Kamar
                   itu sendiri ditempati Si Montok dan anaknya yang berusia empat tahun, Amir. Bertiga
                   dengan ibunya. Kamar itu sendiri tidak berpintu. Tapi di depannya, sejajar dengan
                   ruang sempit jalan ke dapur, menjadi ruang tidur ayah Si Montok.

                   Si Montok, janda dengan satu anak itu berpotongan seperti namanya. Montok yang
                   aduhai, menurut ketiga prajurit itu. Maka adalah masuk akal apabila ketiga prajurit itu
                   sama berselera kepadanya. Meski sama berjuang melawan musuh bersama, mereka
                   sama bersaing memperebutkan hati janda itu. Masuk akal jika dikaji bahwa mereka
                   telah bertahun berpisah dengan isteri masing-masing. Isteri yang mereka tinggalkan di
                   kota. Isteri yang tidak patut dibawa ikut berperang. Sehingga ketiganya sudah
                   bertekad dalam hati masing-masing, apabila datang lagi serbuan musuh yang pertama-
                   tama dibawa ikut lari ialah Si Montok.

                   Namun Si Dali yang mendapat tanggapan lebih dari janda itu. Tentunya karena Si Dali
                   yang lebih tinggi pangkatnya. Awal kisahnya sederhana saja. Kebutuhan air isi rumah
                   itu pada sungai kecil di kaki bukit. Setiap hari mereka harus turun-naik bukit itu kalau
                   memerlukan air. Ketiga prajurit itu selalu turun dan naik bersama. Seperti ada
                   perjanjian rahasia, tidak seorang pun yang boleh tinggal di rumah apapun alasannya.
                   Berdua pun tidak. Ketiganya seperti sepakat pula, mereka akan selalu beriringan
                   dengan Si Montok ke sungai kecil itu. Dan semua sama ingin membantu membawa
                   beban Si Montok, seperti air di perian, kain cucian. Berbuat baik seperti pekerja
                   sosial. Sehingga tidak seorang pun yang dapat berjalan sendirian bersama janda itu.

                   Dalam situasi itu, yang kurang cerdik menjadi santapan yang lebih cerdik. Dan yang
                   lebih cerdik rupanya Si Dali. Perhitungannya yang paling pas. Ia memilih beban yang
                   paling berat. Yaitu menggendong Amir yang kecil di atas bahu. Sambil
                   mengkelakarinya sepanjang jalan, sehingga si kecil terpingkel tawanya. Ibu yang janda
                   mana yang tidak suka pada laki-laki yang disenangi oleh anaknya?

                   "Seperti anakku." kata Si Dali pada suatu ketika pada Si Montok seolah ia memenuhi
                   rasa rindu pada anaknya yang di kota.

                   "Kalau Amir maukan Uda jadi ayahnya, tergantung pada Udalah itu." kata Si Montok
                   membalas sambil mengerling.

                   "Katakan kepadanya. Ini zaman perang. Jangan dia sampai dua kali kehilangan ayah."
                   kata Si Dali.

                   Si Montok menatap Si Dali dengan matanya yang berkaca-kaca. Tidak lama benar.
                   Tanpa berkata dia pun berlalu. Si Dali marah pada dirinya sendiri. Menyesali
                   ucapannya. Dan sesal itu tidak bisa diperbaiki. Sesal yang betul-betul tidak ada
                   gunanya. Karena beberapa hari kemudian seorang kapten datang bermalam dalam
                   suatu perjalanan inspeksi ke garis depan. Setelah matanya nanap menatap Si Montok,
   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113