Page 111 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 111

tubuhnya ceking. Keduanya sama mengenakan baju yang terindah, meski modelnya
                   sudah kuno. Sambil bergoyang di kursinya sejak tadi Encik bicara sendiri tak henti-
                   hentinya. Mengatakan apa yang lewat di kepalanya. Sedangkan Inyik berbuat yang
                   sama. Dalam hatinya pula.


                   Kata Encik: "Pada setiap lebaran begini aku mau semua anak-cucuku berkumpul. Aku
                   rindu mereka antri, bertekuk lutut sambil mencium tanganku waktu bersalaman.
                   Seperti anak-cucu presiden di televisi. Terharu aku melihatnya.

                   Berdiri seluruh bulu romaku. Namun mataku sabak oleh airmata bila ingat aku tidak
                   pernah memperoleh kebahagiaan seperti itu. Padahal, sebetulnya anak-anakku mampu
                   pulang bersama. Yang tak mampu hanya Ruski. Rezkinya memang pas-pasan. Lebih
                   sulit lagi dia tinggal jauh. Di Irian sana.

                   Kalau mau, saudara-saudaranya bisa patungan membiayai yang tidak mampu. Tapi itu
                   tidak pernah terjadi. Rasanya aku tidak salah didik. Aku datangkan guru agama tiga
                   kali seminggu agar mereka menjadi penganut yang tawakal. Tapi mengapa setelah
                   makmur mereka hidup nafsi-nafsian? Setiap lebaran datang luka hatiku kian dalam.
                   Dulu, waktu ayahnya jadi gubernur setiap lebaran mereka bisa berkumpul. Kata
                   mereka, akan apa kata orang nanti bila mereka tidak datang waktu lebaran. Setelah
                   itu mereka tidak lagi datang dengan lengkap. Mengapa? Sama seperti anak-buah Inyik
                   dan pejabat lain. Kalau mereka tidak lagi datang, itu adat dunia masa kini. Dimana
                   padi masak disana pipit berbondong-bondong.

                   Tapi kalau bagi anak-menantuku tentu tidak berlaku ungkapan itu." Inyik pun berkata
                   dalam hatinya: "Dulu aku pernah baca artikel, kalau tidak salah Ki Hajar yang menulis.
                   Katanya, Idul Fitri hari yang istimewa. Karena pada hari itu setiap orang tanpa
                   pandang usia dan status saling bertemu dan saling memaafkan. Tak ada rasa rendah
                   diri. Tidak ada rasa lebih diri. Tapi kini, setelah Idul Fitri jadi kebudayaan baru,
                   bawahan dan orang miskin yang wajib datang ke penguasa untuk minta maaf. Penguasa
                   akan merasa tidak pantas minta maaf kepada rakyat. Meski kementerengan hidup yang
                   mereka dapat, karena banyak rakyat yang diterlantarkan.

                   Tak tersentuh hati mereka. Paling-paling mereka memberi zakat fitrah senilai satu hari
                   makan untuk satu orang miskin. Kenapa tidak untuk sepuluh atau seratus orang miskin.
                   Atau untuk makan sepuluh atau seratus hari orang miskin?"

                   Kata Encik melanjutkan lamunannya: "Ruski memang keras hati. Pantang meminta-
                   minta. Saudara-saudaranya mau membantu kalau Ruski mau meminta. Kenapa harus
                   menunggu dulu kalau sudah tahu saudara sendiri tidak punya kemampuan?

                   Siapa yang mengajar mereka begitu? Seperti mereka tidak tahu betapa rindunya aku.
                   Si Mael yang paling kaya dari semuanya. Lain perilaku hidupnya. Setiap akhir tahun dia
                   pergi berlibur membawa anak dan isterinya. Ke Amerika atau ke Eropa atau ke Jepang.
                   Tutup tahun ini berkebetulan sama dengan lebaran. Tapi dia tidak pulang. Dia ke
                   Mekkah karena sudah bosan ke kota-kota dunia lainnya. Begitu janjinya kepada anak-
                   anak. "Sambil libur, sambil mencari ridha-Nya." tulisnya dalam surat. Sepertinya
                   menemui ibu-bapa tidak merupakan ridha-Nya. Aneh fahamnya beragama."
   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116