Page 117 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
        P. 117
     Di antara suara tertawaan, Pak Kari merasa badannya terlambung setinggi rumah dan
                   membesar seperti gajah. Dan bagaimana hematnya Tuan O.M. dengan helmnya, lebih
                   lagi Pak Kari, si tukang rem itu. Ia tak tega membiarkan topinya kena hujan setitik
                   pun. Betapa bangganya kalau topi itu di kepalanya, demikian pula besar sayangnya
                   kepada helmnya. Sering ia tersenyum sendirian bila melihat wajahnya pada kaca
                   pajangan toko yang dilewatinya saban pergi dan pulang kerja. Dan tentu saja tingkah
                   laku Pak Kari yang berlebih-lebihan itu menjadi bahan olok-olok oleh kawan sekerja.
                   Tapi juga jadi pangkal kejengkelan atasannya. Namun Pak Kari berpendapat olok-olok
                   atau kejengkelan itu adalah disebabkan rasa iri hati mereka karena tak punya topi
                   helm warisan Tuan O.M.
                   Akan tetapi semenjak Pak Kari menjadi pemilik baru topi helm yang besar itu ia pun
                   mendapat julukan. Bukan Si Topi Helm sebagaimana yang ditonggokkan kepada Tuan
                   O.M., melainkan ia mendapat nama julukan Si Gunarso. Berbeda dengan Tuan O.M.
                   yang tidak menyenangi nama julukan yang diberikan orang dengan Si Topi Helm, Pak
                   Kari malah merasa bahagia dipanggil Si Gunarso. Bahkan kadang-kadang ia benar-benar
                   merasakan dirinya sebagai Gunarso. Gunarso yang pendek dan punya wibawa begitu
                   ideal dalam pandangan Pak Kari yang bertubuh sama pendeknya pula.
                   Pak Kari adalah tukang rem semenjak delapan belas tahun lalu. Sebelum itu dia hanya
                   seorang penganggur yang hampir putus asa dalam mencari pekerjaan. Dan ia tahu
                   benar apa artinya menjadi tukang rem di kala itu. Bangun pagi-pagi dan sebelum jam
                   lima sudah mesti berada di stasiun. Pulangnya kadang-kadang sudah jam sembilan
                   malam. Namun dibandingkan dengan orang-orang lain, yang tidak mempunyai
                   pekerjaan apa pun, ia sudah merasa bahagia. Akan tetapi karena potongan badannya
                   yang kecil kurus menjadikannya lebih merasa kecil diri dalam pergaulan dengan
                   tukang-tukang rem lainnya. Dan karena itu dari dirinya dituntut kesabaran yang
                   kadang-kadang sampai di luar kemampuannya sebagai manusia. Lebih lagi semenjak ia
                   mempunyai topi helm, kesabarannya sering kali mendapat tantangan yang sangat
                   tengik.
                   Padang Panjang kota kecil yang penghujan. Selama belum bertopi helm, Pak Kari tak
                   pandai menyumpahi hujan. Akan tetapi kini ia sudah sering menyumpahinya, karena
                   hujan itu memaksanya tidak dapat memakai topi di kepala menurut selayaknya. Selain
                   dari hujan, dari kawannya sendiri sering pula ia mendapat gangguan. Umpamanya
                   selagi ia sedang sembahyang, ada saja kawannya yang menyembunyikan topi helmnya.
                   Sehingga ia mencari-cari dengan perasaan sedih dan dongkol sampai topi helmnya bisa
                   ditemukan. Susahnya kawan-kawannya tahu, Pak Kari bergeming selagi sembahyang
                   meski ia tahu topinya diambil orang untuk disembunyikan. Sungguhpun demikian
                   kawan-kawannya lebih suka menggodanya selagi sembahyang itu. Dan ketika seluruh
                   tukang rem mendapat topi dinas model topi petani di Jawa, Pak Kari merasa bahwa
                   pimpinan perusahaan kereta api telah ikut iri hati karena ia mempunyai topi helm itu.
                   Namun ia tetap berkeras kepala tak hendak memakai topi dinas itu. Barulah ketika
                   sepnya mengancam hendak memberhentikannya, Pak Kari menerima kalah. Maka
                   tinggallah topi helmnya di rumah, tergantung di dinding pada paku. Setiap pagi hendak
                   pergi kerja topi itulah yang terakhir dipandangnya seolah hendak mengatakan "selamat
                   tinggal". Dan setiap pulang kerja topi itu pula yang pertama dilihatnya seolah hendak
                   mengatakan "selamat ketemu lagi". Dan bila hari perainya topi helm itu kembali
                   berada di kepalanya dan dengan bangga dibawanya berjalan-jalan keliling kota.





