Page 120 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 120

Dan masinis yang memegang pimpinan kereta api batu bara itu mengambil putusan
                   untuk membawa lok dan sebuah gerbong kembali ke arah jembatan yang dikira telah
                   mencelakakan Pak Kari. Beberapa tukang rem dibawa untuk mengawasi Batang Anai
                   yang mengalir sejajar rel kereta api itu dan akan membantu mengangkat Pak Kari yang
                   mungkin telah jadi mayat seperti Si Buyung beberapa tahun yang lalu. Di sepanjang
                   jalan tak putus-putusnya peluit lok dibunyikan. Siapa tahu kalau-kalau Pak Kari bisa
                   mendengarnya, pikir masinis itu. Dan setiap mata tertuju ke batang air yang airnya
                   mengalir deras, berbuih-buih, dan menderu bunyinya. Terasa ada kesukaran jika hanya
                   mencari dengan mata; karena hari masih gelap oleh sebab sinar matahari belum lagi
                   menembus celahbukit di balik bertimbal batang air itu.

                   Sekilometer menjelang jembatan yang disangkakan itu, ditemuilah Pak Kari. Badannya
                   kuyup dan jalannya gontai menginjaki bantalan besi demi bantalan besi rel kereta api.
                   Dan seperti dikomandoi saja, semua tukang rem memaki dan bercarut-carut ke arah
                   Pak Kari. Sedang masinis bukan kepalang meradangnya. Dipanggilnya Pak Kari ke
                   loknya.


                   "Mengapa jadi begini? Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan kejadian ini?"
                   hardik masinis.

                   Pak Kari diam saja. Kepalanya ditekurkannya, seolah hendak mengatakan bahwa ia
                   mengaku salah.

                   "Kalau kau mati seperti Si Buyung dulu, bisalah aku mempertanggungjawabkan
                   kejadian ini. Tapi kau tidak mati. Kenapa kau hidup? Kenapa tidak mati saja?"


                   Pak Kari masih diam.

                   "Oi. Jawablah. Kenapa kau tak mati saja?"

                   Tak juga ia menjawab.

                   "Aku tak senang. Kau mesti dipecat," kata masinis itu lagi.

                   Muka Pak Kari yang pucat dan menggigil kedinginan kian pasi dan tambah gemetar
                   mendengar kata masinis yang mau memecatnya. Ia mau memberi keterangan. Tapi
                   lidahnya kelu. Ia tetap menekur juga.

                   "Jawablah. Kenapa kautinggalkan gerbongmu?" kata masinis lagi dengan nada yang
                   lebih tinggi.

                   "Topi saya….. topi saya jatuh. Di ...di….. dilanggar je... je... jembatan," kata Pak Kari
                   gagap.


                   "Oo, karena topi ini jatuh, kau tinggalkan gerbongmu, he? Karena topi ini saja? Karena
                   topi ini saja aku terpaksa mendorong kereta ini kembali? Kenapa topi ini saja yang
                   jatuh? Kenapa kau tidak? Bagus benar kelakuanmu," kata masinis itu lagi seraya
                   memandangi topi helm yang lengket di kepala Pak Kari. Tiba-tiba direnggutnya topi itu
                   hingga terlepas dari kepala pemiliknya. Karena topi ini, topi pusaka Si Topi Helm ini
                   saja, kaurusak dinasku. Hebat benar topimu."
   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124   125