Page 122 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
        P. 122
     apa yang harus dilakukannya. Lama juga ia tergagap-gagap merumuskan pikirannya
                   untuk mencari cara memberi bantuan. Tapi ketika perempuan itu meminta bantuan,
                   Pak Kari menjadi tambah tergagap. Ada perasaan malu yang kuat sekali dalam dirinya
                   untuk memegang perempuan secantik itu, apalagi perempuan itu istri sepnya.
                   Akhirnya setelah keberaniannya dapat ia kumpulkan, dibantunya perempuan itu untuk
                   berdiri. Tetapi kemudian, ketika ia memapah dan melingkarkan tangannya ke pinggang
                   perempuan itu di kala mengantarkan ke kamar tidurnya, Pak Kari merasa bahagia
                   sekali. Bahwa meski ia seorang yang termasuk kerdil, ia merasa telah ditakdirkan
                   sebagai pahlawan bagi istri dari sepnya yang juga orang kerdil itu. Pikiran-pikirannya
                   itu, dan perlakuan yang manis dari istri sepnya ketika mengucapkan terima kasih,
                   lambat laun menumbuhkan sesuatu yang dirasanya aneh dalam hatinya, perasaan aneh
                   yang menyenangkan.
                   Dan topi helm itu, topi yang diberikan Tuan O.M. kepadanya di kala hendak berpisah
                   dulu, dirasakannya sebagai suatu perlambang yang bermakna abadi bagi hubungannya
                   dengan Nyonya Gunarso, hubungan yang tersembunyi, yang begitu indah bila dikenang.
                   Tuhanlah yang menakdirkan segala-galanya, sehingga justru di kepalanya saja topi
                   helm itu bisa pas benar dari sebanyak kepala yang mencobanya. Tuan O.M. dengan
                   topi helmnya itu, bukanlah suatu model manusia yang ditakdirkan untuk jadi bahan
                   olok-olok semata-mata. Kewibawaan Tuan O.M. taklah akan seperkasa itu bila tidak
                   memakai topi helm. Topi helm yang tak ubahnya sebagai mahkota Ratu Wilhelmina.
                   Dan topi helm yang bagai mahkota itu akhirnya jadi kepunyaannya. Demikianlah
                   lamunan Pak Kari.
                   Demi ia ingat topi helmnya lagi, yang telah terbakar habis oleh api dalam tungku di
                   lambung lok yang lagi dibersihkannya itu, mulailah lagi suatu nyala membakar hati dan
                   pikirannya. Yaitu api dendam yang takkan pernah terpadamkan sebelum terbalas
                   dengan lunas.
                   Tiba-tiba ia ingin membalasnya sekarang. Sekarang juga. Keinginannya itu melupakan
                   dirinya sendiri, bahwa ia hanyalah seorang kerdil yang tak berdaya yang bertugas
                   menjadi tukang rem pada jalur kereta api Padang Panjang-Kayutanam saja. Yang ia
                   ingat cuma satu, api dendamnya kian marak dan kian marak juga. Dan makin kian
                   marak ketika masinis itu datang memeriksa pekerjaan Pak Kari yang membersihkan
                   tungku api di lambung lok itu.
                   Baru saja masinis itu menggapaikan tangannya untuk berpegang pada gagang pintu lok
                   hendak meningkati tangga, Pak Kari melemparkan sesodok tahi arang yang berpijar-
                   pijar nyala apinya keluar pintu lok. Berlonggok menimpa wajah masinis itu. Sesuai
                   menurut rencana Pak Kari. Dan sejak itu kegelapan dan kebosanan menjalari
                   kehidupan masinis itu. Adalah jauh lebih ringan apabila ia dapat memandangi
                   wajahnya lewat kaca.
                   Lalu Pak Kari memandang ke topi helm yang bertengger di kepala mandor jalan kereta
                   api itu dengan senyum kepuasannya, seolah hendak menyatakan kepada topi helmnya,
                   kepada Tuan O.M. dan istrinya, bahwa pembalasan setimpal telah terlaksanakan.
                   Namun tidak seorang pun yang dapat menyalahkan Pak Kari. Dan Pak Kari pun tak
                   pernah merasa bersalah sedikit pun.





