Page 125 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
        P. 125
     Aku meneruskan sarapanku. Seselesai sarapan aku langsung ke kamar lagi demi
                   menghindari umpatan panitia kalau masih melihat aku. Tapi beberapa menit
                   kemudian pintu kamarku saya diketok. Ketika aku membukanya, panitia yang
                   mengumpat itu berdiri di depanku dengan wajah yang gembira dan mengatupkan jari
                   kedua tangannya ke dada. "Syukur, Pak. Syukur. Aku berhasil memperjuangkan
                   Bapak."
                   Dalam waktu aku terbingung-bingung dia melanjutkan setelah memandang ke kakiku.
                   "Bapak punya sepatu, bukan?"
                   Aku mengangguk.
                   "Syukur, Pak. Syukur. Berkat perjuangan saya, Bapak sudah bisa ke istana ketemu
                   Presiden. Tidak sembarang orang, lho, yang bisa ke sana. Siap-siaplah, Pak. Kita mau
                   berangkat."
                   "Jadi boleh pakai baju batik saja?" tanyaku.
                   "Itulah yang aku perjuangkan, Pak."
                   "Bagaimana caranya?"
                   "Aku bilang pada komandan sekuriti istana, bahwa banyak peserta tidak bisa hadir,
                   karena tidak punya jas. Maklum banyak seninam, yang meski punya nama besar, tapi
                   miskin. Lalu sekuriti itu bilang: Boleh pakai baju batik, asal rapi dan pakai sepatu.
                   Begitu, Pak, katanya."
                   Maka berangkatlah aku ke istana untuk pertama kali seumur hidupku. Tapi aku
                   tidak melihat batang hidung Zaim. Mungkin dia dengan bus lain yang berjejer
                   banyak di halaman hotel. Tapi mungkin saja aku tidak bisa melihatnya diantara sekian
                   banyak orang yang sama pakai jas. Waktu di ruang tunggu istana, aku tidak juga
                   melihat Zaim. Saya terlalu asyik melihat lukisan yang tergantung di dinding. Hampir
                   semua pelukis yang lukisannya ada di situ aku kenal namanya sejak lama.
                   Dan ketika semua peserta disuruh masuk ke ruang audiensi, ternyata akulah satu-
                   satunya peserta yang mengenakan baju batik. Karena tahu diri tersebab tidak punya
                   jas, aku ku masuk paling akhir dan duduk pun di kursi barisan paling belakang. Di
                   sebelahku Rosihan yang biasa dendi dengan stelan jasnya. Katanya: "Kalau mau masuk
                   televisi cari tempat duduk di depan. Bagusnya sebelah sini."
                   Aku memandang ke deretan kursi bagian depan. Yang di sana para pejabat dan
                   panitia. Tidak seorang pun orang sebangsa aku. Di sisi sebelah kanan seperti yang
                   dikatakan Rosihan, juga diduduki oleh pejabat dan panitia yang eselonnya lebih
                   rendah.
                   Dan Presiden, ketika menerima tanganku, sama ramahnya seperti kepada orang-
                   orang yang mengenakan jas. Bahkan aku rasa aku lebih. Karena Presiden menepuk-
                   nepuk tanganku dengan tangan kirinya. Cara yang tidak dilakukannya kepada peserta
                   lain.





