Page 123 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
        P. 123
     Zaim Yang Penyair Ke Istana
                   Aku dapat undangan mengikuti suatu kongres di Jakarta. Penginapan peserta di Hotel
                   Indonesia. Hotel yang aku kagumi pada awal didirikan 35 tahun yang lalu. Saat
                   kongres itulah aku baru bisa inapi. Temanku sekamar Zaim namanya. Penyair dari
                   Madura. Aku belum melihat batang hidungnya. Mungkin sudah. Hanya karena belum
                   kenal saja aku merasa belum ketemu dia.
                   Rupanya pada setiap kongres yang bertaraf nasional, mestilah dibuka oleh Presiden.
                   Bila Presiden tidak bisa hadir, maka pesertalah yang datang menghadap ke Istana.
                   Aku termasuk salah seorang yang tidak bisa ikut menghadadap oleh alasan tidak
                   memiliki syarat yang pantas. Yaitu stelan jas dan dasi. Yah, apa boleh buatlah. Maka
                   aku pun tenang-tenang saja menerima sejarah hidup yang tidak bisa ketemu
                   Presiden.
                   Beberapa saat menjelang tengah malam, ketika aku lagi asyik nonton acara musik
                   simponi yang diantar Katamsi di TVRI, pintu kamar diketok orang. Seorang laki-laki
                   yang sudah lewat masa mudanya berdiri di ambang pintu. Rupanya dialah teman
                   sekamarku, Zaim yang penyair dari Madura itu.
                   Katanya: "Ketika aku tahu bahwa Pak Dali jadi teman sekamarku, bukan main senang
                   hatiku." Tapi setelah dia membantingkan bokongnya di kasur tidur, rasa senangnya
                   tak kelihatan lagi. Dia murung.
                   "Minum dulu." kataku.
                   Dia berdiri dan membuka freezer kecil di dekat meja. Tapi freezer itu tidak ada
                   isinya. "Kok sudah kosong?" katanya seraya menatap dengan mata yang seperti
                   menyesali karena menduga akulah yang telah menghabiskan isinya.
                   "Untuk peserta undangan, memang dikosongkan isinya." kataku.
                   Setelah melihat isi teko pun sudah kosong dia ke kamar mandi. Agak lama juga. Ketika
                   keluar eadaannya telah nyaman. Aku kira dia minum air kran di sana. Setelah
                   membenahi tas bawaannya dan kembali membantingkan bokongnya ke kasur, wajah
                   murungnya terlihat lagi. Agak lama kemudian, dia berbaring tanpa mengganti
                   pakaian. Menelentang lurus. Jari jemari kedua tangannya saling berkaitan di atas
                   perutnya. Dan aku mengecilkan volume suara televisi.
                   "Tadi panitia memberi tahu, besok pukul sepuluh kita sudah harus sampai di istana."
                   katanya.
                   "Uh uh." aku mendengus mengiyakan.
                   "Tapi aku tidak bisa pergi."
                   "Kenapa?"
                   "Aku tidak punya jas."





