Page 13 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 13
"Bunuh dia." perintah raja.
Setelah merenung perdana menteri berkata: "Apa Paduka tidak ingin melihat lebih
dulu macam apa Si Dali itu?"
"Kalau begitu tangkap dia. Bawa kesini." kata raja. "Membunuh dan menangkap orang
memang kekuasaan Paduka. Tapi jika dia dibunuh atau ditangkap, dia akan jadi lebih
besar dari kadarnya. Dia akan menjadi mitos sejarah. Dengan mitos itu rakyat terbius
untuk berdemonstrasi. Bayangkan, Paduka. Demosntrasi masa ini biadabnya bukan
main."
"Maksudmu?"
"Undang dia. Rangkul dia. Supaya Paduka tetap lebih besar dari Si Dali."
"Kalau begitu undang dia. Elu-elukan seperti mengudang gladiator atau artis top." kata
raja.
Si Dali bukan tidak berpikir dengan asumsi. Menurutnya dia akan diangkat jadi warga
kehormatan negara. Barangkali sekurang-kurangnya menjadi Perdana Menteri atau
Menko seperti yang berlaku di Indonesia. Tapi jabatan itu membutuhkan lidah yang
panjang dari akal. Maka dia akan menolaknya. Demikianlah ketika Si Dali sampai di
istana, dia disambut oleh barisan pagar ayu yang berdada busung dan berpantat
tonggeng seperti penari jaipong. Ruang istana bermandikan cahaya gemerlap. Raja
dengan pakaian bermanik dan berbintang lapis-berlapis pada kiri-kanan dada, bahkan
sampai ke perut buncitnya. Raja menanti di tengah ruangan yang luas. Begitu megah
dan perkasanya raja dilihat oleh Si Dali. Lebih mempesona daripada raja ketoprak yang
dili- hatnya di televisi.
Cahaya lampu yang bersinar marak di ruang itu, tidak memberi bayang-bayang pada
raja. Tapi di dinding penuh berjajaran para pejabat kerajaan dengan isteri masing-
masing. Itulah bayang-bayang raja, pikir Si Dali. Tiba-tiba seluruh lampu meredup.
Lampu sorot dari dinding kiri menyinar tajam ke arah ratu yang muncul di ujung ruang.
Bayang-bayang mengiringi. Raja memperkenalkan Si Dali kepada ratu. Si Dali
membungkuk ketika bersalaman. Tapi bayang-bayang Si Dali seperti memeluk erat
bayang-bayang ratu. Keduanya jatuh bergumul di lantai. Si Dali memandang
berkeliling. Di sepanjang dinding terlihat seperti bayang-bayang hitam, yang seperti
menatap ketiga orang yang berada di tengah ruang. Ketika semua lampu menyala
kembali, Si Dali tidak melihat bayang- bayangnya. Bayang-bayang ratu pun tidak.
Sampai pulang pun bayang-bayangnya tidak mengikutinya. Dan ketika dia menyalakan
lampu di ruang tamunya, dia melihat bayang-bayang raja yang bertubuh buntal duduk
mengalai di sofa.
"Kamu bukan bayang-bayangku." kata Si Dali. "Mestinya kamu bersama raja. Mengapa
kamu di sini?"
"Aku kesal. Muak. Sakit hati. Raja punya banyak bayang-bayang. Semuanya berlidah
panjang. Sehingga aku yang setia sejak waktu lahirnya, tidak diperdulikan lagi." kata
bayang-bayang raja itu.