Page 16 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 16
Selama berlari Si Dali berkata pada dirinya: "Bayang- bayang tetap bayang-bayang.
Meski bayang-bayang raja sekalipun, tidak ada yang hirau. Para menteri raja pun tidak
hirau. Kalau bayang-bayang raja tidak diacuhkan orang, apa peduliku. Tapi pada
bayang-bayang raja ini ada aku. Mengapa mereka tidak peduli?"
Dalam berlari Si Dali terus bebicara pada dirinya sendiri. Kadang-kadang dia bertanya,
kadang-kadang mengomel. Adakalanya juga dia memaki dan berteriak-teriak marah.
Akhirnya dia marahi dirinya sendiri, yang mau menyamar sebagai bayang-bayang,
meski bayang-bayang raja. Tiba-tiba larinya melambat dan terus melambat. Di bawah
naungan mahoni yang tumbuh berderet di sepanjang jalan dia mulai terenung. Dalam
renungannya kian menjadi jelas baginya, bahwa bayang-bayang akan selamanya jadi
bayang-bayang. Bayang-bayang raja tetap bayang-bayang raja. Kalau raja mati, meski
bayang-bayangnya tidak ikut dikubur, dia tidak lagi berfungsi. Yang berfungsi ialah
bayang-bayang raja pengganti. Bayang-bayang raja lama lenyap. "Kalau saat ini raja
pemilik bayang-bayang ini mati, apa jadinya aku?"
Sambil berlari kencang sepanjang jalan ke rumahnya, Si Dali berteriak keras: "Aku
tidak mau lenyaaap. Tidak mau lenyaaap."
***
Sampai di rumah ternyata pintu rumah ternganga. Di dalam semuanya hitam. Tidak
satupun lampu yang nyala atau cahaya yang masuk. Tapi dia tahu persis letak sesuatu
benda atau ruang demi ruang. Meski berlari tidak satu benda pun tersenggol. Meski
tersenggol, oleh karena bayang-bayang tidak akan menggeser, apalagi merusak. Maka
dia langsung menghambur ke kamar tidurnya, yang ketika pergi dulu sebagai bayang-
bayang raja. dirinya lagi mengalai di ranjang.
Tapi Si Dali tidak menemui dirinya di sana. Lalu dicarinya dengan perasaan cemas ke
seluruh ruang yang gelap itu. Betapa seluruh ruang telah diarungi, betapa lama waktu
dalam menyigi, dia tidak menemui dirinya. Simpul hatinya, dirinya yang dipakai
bayang-bayang raja pasti sudah keluar rumah pergi bertualang dalam kehidupan yang
nyata. Tapi kemana dia? Dia telusuri seluruh jalan dan pelosok kota sampai ke sudut-
sudut yang kumuh pun dia cari. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia berkelana. Entah
berapa hari, entah berapa malam.
Akhirnya, ketika rasa putus asa telah sampai ke ujung hidupnya, dia melihat seorang
laki-laki kere. Duduk terkulai di bangku dalam taman luas Lapangan Merdeka di pusat
kota. Laki-laki itu kurus kerempeng. Lusuh dan mengenas- kan. Laki-laki itu tidak lain
dari dirinya yang jelmaan bayang-bayang raja. Sebagian hati Si Dali demikian gembira
karena telah menemukan kembali jati dirinya. Tapi sebagian lain hatinya demikian
risau. Dia melihat dirinya yang dipakai orang lain. Tak obahnya seperti lusuh baju
dipakai oleh bukan pemiliknya sendiri. Sampai dia ragu sejenak, apa memang itu Si
Dali yang sosok paling populer di masa itu.
"Hai, Dali. Kemana saja kamu. Berhari-hari aku telah mencarimu." kata Si Dali pada
dirinya yang disandang oleh bayang-bayang raja itu.