Page 21 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 21
"Mungkin karena dinamika orang-orang muda masa dulu yang menyebabkan saya
dongkol melihat tingkah laku orang tua-tua yang sok-sokan. Sehingga saya berjanji
dalam hati saya, jika saya telah tua, apa yang tidak saya sukai tentang tingkah laku
orang tua-tua terhadap orang-orang muda, tidak akan saya lakukan," kata saya pada
sobat itu setelah lama kami merenung-renung.
"Apa janji itu Bung lakukan?" tanya sobat saya yang bekas diplomat itu.
"Ya. Saya lakukan."
"Kenapa?"
"Karena saya percaya, apa pun yang dapat kita lakukan di waktu muda dulu, pastilah
dapat dilakukan oleh orang-orang muda sekarang."
"Tapi nyatanya orang-orang muda sekarang begitu sulit melepaskan dirinya dari sifat
kekanak-kanakannya."
"Kata kita. Tapi apa kata orang tua-tua kita dulu tentang kita?" tanya saya
membalikkan alasannya.
"Coba Bung renungkan. Apabila orang-orang muda sekirang diberi peran yang sama
seperti apa yang kita lakukan dulu, akan apa jadinya Republik ini?" .tanya sobat saya
itu seraya membelalakkan matanya.
Tiba-tiba ketawa saya meledak, sehingga air mata saya pun berderai-derai. Lalu
matanya yang membelalak jadi menyipit sebelum bertanya kenapa saya ketawa.
"Kinilah saya baru tahu, kerjaan kita yang terutama sekarang ialah membenahi akibat
kerja kita masa lalu," kata saya yang masih belum dapat menghentikan ketawa.
Dan sobat saya itu memang diplomat, karena ia tersenyum saja oleh kata-kata saya
itu. Seperti senyum anak-anak saya bila melihat bintang favoritnya tampil dalam acara
"Dari Masa ke Masa" di televisi.
Datangnya Dan Perginya
Ketika surat pertama Masri datang, melonjaklah keinginan hendak menemuinya di
tahun yang lalu. Surat itu diciumnya berulang-ulang dan disimpannya di antara
lembaran Quran. Setiap hari ia membaca Quran itu, setiap itu pula ia menciumnya.
Dan sebuah kalimat yang disenanginya selalu saja mengikat matanya. Meski kalimat itu
sudah lengket dalam ingatan masih juga dibacanya lagi.
"Datanglah, Ayah. Hati kami rasa terbakar karena rindu. Tidakkah Ayah ingin berjumpa
dengan Arni, menantu Ayah? Dan dengan kedua cucu Ayah, Masra dan Irma?"
"Ya, tentu, Anakku. Tentu. Kenapa tidak. Aku sudah tua. Sebelum aku mati, aku mesti
bertemu dengan kau semua," kata orang tua itu dalam hati. Lalu diraba-raba dadanya