Page 23 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 23

juga. Dilemparkan pandangannya keluar jendela. Alam di luar menghijau dan
                   disungkup oleh awan yang memutih di langit. Di kejauhan burung elang terbang
                   berbegar. Lalu semuanya jadi memudar. Dipudari oleh kenangannya kepada Masri,
                   anaknya.

                   Pengisian kehampaan dengan dambaan perempuan di sepanjang malam itu,
                   menjadikannya hanyut berlarut-larut. Merusakkan hidupnya sendiri. Hingga Masri yang
                   terdidik kasih sayangnya, menjadi disiksa oleh olok-olok kawan-kawannya di sekolah.
                   Namun si anak tetap tidak percaya bahwa kesucian ayahnya telah rusak. Si anak ingin
                   melihat dengan mata kepalanya sendiri: benarkah ayahnya seperti yang dikatakan
                   teman-temannya. Dan si anak mengintip. Mengintip kebahagiaan ayahnya dalam
                   rangkulan perempuan jalang itu. Ah, betapalah hancurnya hati si anak. Mungkin ingin
                   ia membutakan matanya, agar segala yang di depan matanya itu tiada terlihat. Dan ia
                   temui ayahnya dengan dendam tiada terbada. Kehadiran Masri menjadi olok-olok
                   perempuan yang dibayarnya. Dan ia merasa terhina dan marah sekali. Tapi si anaklah
                   yang jadi sasaran marahnya. Ditamparnya sekuasa kuatnya. Namun si anak diam dalam
                   kesakitan. Dibiarkannya ayahnya berbuat sesuka hatinya.

                   "Kurang ajar kau. Bikin malu. Ayo, pergi. Kau bukan anakku lagi!"

                   "Memang aku bukan anak ayah yang begini. Aku memang mau pergi!" si anak
                   membangkang.

                   "Kau kurang ajar!"

                   "Kalau aku kurang ajar, bukan salahku. Perbuatan Ayah yang menyebabkan aku begini.
                   Ayah yang menyebabkan aku lahir tanpa kemauanku! Setelah aku lahir, Ayah lagi yang
                   merusaknya! "

                   Si ayah betul-betul hilang kesabarannya. Jika tadi perempuan jalang yang dibayarnya
                   sudah pandai menertawakannya, maka sekarang anaknya sendiri yang menghinanya. Ia
                   hendak memukul lagi. Tapi si anak cepat pergi tak kembali lagi ke rumah ayahnya.

                   Orang tua itu merasa napasnya tertahan. Jantungnya kencang berdebar. Dan ia sadar
                   lagi dari lamunannya. Tepekur ia dalam kesadaran pikirannya. Yang waras. "Memang
                   terlalu," katanya dalam hati. "Perkataan Masri melukai hatiku sungguh-sungguh. Tentu
                   Masri takkan begitu kalau bukan aku ayahnya. Tentu anak orang lain takkan berkata
                   begitu kepada ayahnya. Tentu aku ayah yang salah. Jahat. Kalau aku pikir-pikir kini,
                   Masri, aku merasa kautelanjangi bila aku bertemu kau nanti. Aku memang ayah yang
                   tak baik. Tapi, Anakku, perkataanmu dulu itu benar, Anakku. Perkataanmu dulu
                   menimbulkan kesadaranku kemudian. Malam-malam ketika aku berbaring di tempat
                   tidur di rumah kita, lambat laun aku insaf. Akulah yang salah. Akulah ayah yang
                   celaka. Tapi kau sudah pergi, Anakku. Kepergianmu yang tak kembali lagi itu,
                   menghancurkan hatiku. Aku ingin kau terus di sisiku, karena kau anakku satu-satunya.
                   Karena kau duniaku, tempat aku berpegang lagi. Tapi kau tak ada lagi. Ingin aku
                   maafmu, Nak. Ingin sekali ketika itu. Tapi kau tak kunjung datang.

                   Kemudian aku tobat, Anakku. Aku lemparkan kehidupan duniawi. Aku jual segala harta
                   benda kita. Aku wakafkan. Dan aku pergi ke dusun jauh. Aku tinggal di mesjid sana.
                   Aku serahkan diriku kepada Allah. Bertahun-tahun lamanya. Dan di samping itu kuajak
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28