Page 25 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 25

pikirannya begitu lamban. Maka ia mengajak alamnya berdamai kembali dengan serba
                   sangka yang segala baik atas kehadiran perempuan itu di situ.

                   "Mengapa kau datang juga?" tanya perempuan itu ketus. Dan keketusan pertanyaan itu
                   demikian kesat masuk ke telinga laki-laki itu. Maka hatinya tersinggung. Rasa
                   kesombongan yang telah lama mengendap jauh di lubuk hatinya, menjolak lagi dengan
                   panasnya. Dan dengan pandangan mata yang menyala berang, ia berkata. "Aku kemari
                   ke rumah anakku. Karena diminta datang." Tapi ucapannya itu hilang di ujung bibirnya
                   yang gemetar. Tak bersuara mencapai sasarannya.

                   "Kalau datangmu hendak membawa keonaran, pergilah kini-kini," perempuan itu
                   menegas lagi.

                   "Rumah ini, rumah anakku. Aku datang karena dipanggil," laki-laki tua itu berkata lagi
                   dengan berangnya.

                   Tapi perempuan itu tidak mendengar apa-apa dari mulut laki-laki yang tegak bagai
                   patung di ambang pintu itu. Dan perempuan itu berkata lagi. "Tapi kalau datangmu
                   untuk kebaikan, masuklah."

                   Dan laki-laki tua itu tak hendak bertengkar di tangga rumah anaknya. Ia masuk
                   membawa hatinya yang ragu dan bertanya-tanya. Tapi keragu-raguan itu segera
                   menyingkir jauh ketika ia memandang keliling ruangan rumah itu. Begitu sederhana,
                   tapi semuanya teratur rapi. Bersih. Dan yang terpenting begitu serasinya. Maka
                   tahulah ia bahwa anaknya, Masri, hidup dalam kedamaian dan kebahagiaan bersama
                   istrinya. Ia pun ikut merasa bahagia. Dan lupalah ia sejenak kepada perempuan yang
                   memandangnya nanap dan dengan hatinya yang kecut.

                   "Alangkah bahagianya Masri," ia berkata seolah kepada dirinya sendiri. "Tentu Arni,
                   istri yang cocok."

                   "Semua perempuan cocok bagi laki-laki yang tahu menghargai orang lain," kata
                   perempuan itu mencetus.

                   Dan laki-laki itu terantuk lagi pada kehadiran perempuan itu. Maka tahulah ia bahwa
                   ucapan perempuan itu bermaksud menempelak dirinya. Juga merupakan suatu pukulan
                   untuk mengenang kembali kehidupannya yang lalu. Hatinya tersinggung. Tapi ia tak
                   mampu membangkitkan kesombongan yang tadinya menjolak-jolak. Ia kini jadi lemah
                   dan sempoyongan oleh pukulan itu. Digapainya sebuah kursi. Dalam sempoyongan itu,
                   berbalik-balik sejarah kehidupannya yang lama. Semua pada bagian yang hitam dan
                   pahit-pahit yang paling ia kenang.

                   "Maafkanlah aku, Iyah. Aku memang orang yang tak baik. Umurku yang setua ini,
                   hampir mati malahan, menginginkan semuanya dalam kedamaian dan kebaikan.
                   Hendaknya jika aku mati, matiku dalam kebersihan dosa-dosa yang telah aku lakukan,"
                   katanya lama kemudian dengan suara yang parau serta pengucapannya yang bergetar.

                   "Cerita maaf, memang paling mudah diucapkan oleh orang yang telah merasakan hidup
                   senang. Tapi bagiku, orang yang selamanya dalam kesulitan ini, cerita maaf haruslah
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30