Page 22 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 22
sebelah kanan. Mencari-cari sesuatu di dalam saku-dalam pada jasnya. Dan kemudian
tangannya itu hilang di balik lipatan jas. Sebentar saja. Keluar lagi bersama selembar
amplop yang tepinya telah lusuh. Dibukanya tutup amplop itu dan dari dalam
dikeluarkannya sebuah foto sebesar poskar. Dan matanya menatap bulat. Serta di
bibirnya yang mencekung ke dalam tergores senyum kepuasan.
"Pakai kumis kau sekarang, Masri. Sudah berubah benar. Berbahagia kau dengan Arni,
ya? Sudah dua anakmu sekarang Ayah juga turut berbahagia bersamamu, Nak.
Selamanya ayahmu merasa bahagia melihat rumah tangga yang berbahagia. Apalagi
engkau, Anakku." Lalu poskar itu dimasukkannya kembali ke dalam amplopnya. Baru
setengah, ia keluarkan lagi. Dibawanya ke bibirnya. Tak sampai. Ia ingat ada orang-
orang di sekelilingnya. Dan poskar itu dimasukkannya lagi ke dalam amplop.
Disimpannya kembali ke dalam saku jasnya. Ia bersandar selelanya. Dan kenangannya
melayang ke masa yang lalu.
Selagi Masri berumur tiga tahun, istrinya yang dicintai itu meninggal. Waktu itu ia
masih muda. Dan hatinya patah sudah. Dan ia merasa-rasakan, bahwa bahagia tak
mungkin lagi datang padanya. Tapi kesunyian menerpanya selalu. Sepi sekali. Itu tiada
terderitakan. Dan datangnya pada malam di waktu matanya tak hendak terpicingkan.
Datangnya mengoyak-ngoyak. Maka akhirnya ia kawin lagi.
Tapi malah perkawinan ini tambah merusakkan hatinya. Hatinya yang masih
mengenang cinta kasih mendiang ibu Masri diobrak-abrik oleh kedatangan perempuan
ini. Ia ingin segalanya tiada berubah. Susunan rumahnya, aturan makannya, ia mau
seperti yang dilakukan oleh ibu Masri. Tapi istrinya yang baru ini tiada rela suaminya
tenggelam dalam suasana lama. Dan mereka tak berbahagia. Pertengkaran sering
terjadi sampai mereka bercerai. Meski si istri sedang mengandung.
Lama kemudian ia kawin lagi. Tapi bercerai pula akhirnya. Kawin dan cerai lagi. Dan
terasalah olehnya bahwa rumah tangga tak mungkin memberikan kesenangan lagi
baginya. Lalu kesepian hatinya diisinya dengan perempuan yang takkan mengikatnya
dengan syarat-syarat kawin.
" Ah, ibu Masri cuma satu. Cuma satu perempuan seperti dia. Dia baik. Baik sekali.
Semua orang suka padanya. Semua orang. Dan dia pandai. Pandai dalam segala hal.
Tapi, yah, Tuhan terlalu cepat mengambil tiap-tiap yang dikasihi seseorang. Ah, aku
tak mengerti, kenapa semua orang yang berbudi baik, terlalu lekas meninggalkan
manusia yang mengasihinya. Aku tak mengerti, kenapa mesti begitu. Ataukah dunia ini
hanya boleh ditempati orang-orang yang tak baik saja? Ah, maka itu dunia ini tak
mungkin jadi surga gerangan?" ia mengomentari lamunannya. Dan kepalanya digeleng-
gelengkannya. Dan matanya berlinang puncak kepiluannya. Diangkatnya kaca matanya,
lalu dipijit-pijitnya jangat di bawah biji matanya, menahan linangan jangan sampai
jatuh. Dipasangnya kembali kaca matanya. Dan ia bersandar lagi pada sandaran
tempat duduknya.
Kereta api yang ditumpanginya masih melaju kencang. Orang-orang sekitarnya sudah
habis mengantuk. Kepalanya mengangguk-angguk bagai kepala boneka bergoyang.
Bahkan ada yang pulas sama sekali, sehingga air ludahnya meleleh seperti lendir dari
sudut bibirnya. Dan ada yang terangguk-angguk dan ketika kepalanya seperti akan
jatuh ke pangkuannya, ia terbangun lagi. Namun mata orang tua itu masih nyalang