Page 24 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 24

manusia di sekitarku hidup dalam rukun damai. Semuanya, semua rumah tangga di
                   dusun itu, ikut aku mendamaikannya, membahagiakannya, kalau ada terjadi cekcok.
                   Alangkah bahagianya hatiku, Nak, kalau aku melihat kebahagiaan rumah tangga
                   mereka. Karena aku sendiri mengerti apa arti kebahagiaan rumah tangga itu.

                   Tapi, Masri, ketika aku menerima suratmu setahun yang lalu, kuakui aku bimbang
                   mulanya menerima ajakkanmu. Aku merasa ditelanjangi. Anak yang kutampar, anak
                   yang kuusir dulunya, anak itu yang mengajak aku datang ke rumahnya. Aku malu. Malu
                   sekali, Masri. Dan aku tak mau datang. Enggan karena malu. Tapi tahu kau, suratmu
                   itu selalu kucium?

                   Dan kemudian datang suratmu lagi. Juga tak kubalas. Dan suratmu yang ketiga beserta
                   wesel uang itu, tidak mengguncangkan hatiku dari pendirianku semula. Tapi, Masri,
                   uang itu aku ambil juga ke kantor pos akhirnya. Karena terpaksa. Karena ada orang
                   lain yang hendak kutolong dengan uang kirimanmu itu. Kalau aku sudah mengambil
                   uangmu, Anakku, aku terpaksa juga mengunjungimu. Terpaksa bukan berarti aku tak
                   mau, tapi karena aku sangat malu bertemu denganmu.

                   Tapi sekali aku ingat, aku sudah tua. Umurku takkan lama lagi. Dan kalau aku mati,
                   aku mau tak semiang dosa pun lengket di badanku. Dosaku yang terbesar akan hapus
                   oleh maafmu, Anakku. Kini aku datang menyerahkan diriku padamu, sebagai ayah yang
                   kalah. Tahu kau, Anakku, oleh surat-suratmu yang tak bosan-bosannya datangnya itu,
                   sampai empat kali, dan tak pernah kubalas, merobohkan sifat-sifatku yang buruk.
                   Sifat-sifatku yang tinggi hati, karena malu minta maaf kepada orang yang lebih muda.
                   Aku insaf sekarang, kesombongan itulah yang menghancurkan kehidupanku selama ini


                   "Ada apa, Pak? Kenapa Bapak menangis?" sebuah suara masuk ke telinga orang tua itu.
                   Tersentak ia dari lamunannya. Dan dirasanya lelehan air di atas ujung mulutnya.
                   Disekanya cepat. Lalu dicobanya tersenyum manis kepada si penegur. Kemudian
                   dipalingkan matanya ke luar jendela. Dilihatnya alam hijau membiru disela oleh
                   rumah-rumah yang berkelompok tiada teratur. Kian lama kian ramai. Tapi kereta api
                   masih laju juga jalannya. Kedengaran desisan lok kejar-berkejaran. Dan kota yang
                   dituju hampir sampai kini. Ketika kereta bertambah perlahan jalannya, bertambah
                   kencanglah jantungnya memukul. Maka yakinlah ia, ia akan berjumpa dengan anaknya.
                   Dan tentu nanti maafan anaknya akan diperolehnya sepenuh ikhlas. Tentu. Terasalah
                   betapa damainya dunia ini olehnya. Dan kalau ia mati kelak, matinya tanpa membawa
                   dosa. Dalam kedamaian itu, kereta pun berhenti. Dan dalam liputan kedamaian itu
                   pula ia meningkat anak tangga rumah anaknya. Tidaklah ia merasa capek sedikit pun
                   oleh guncangan kereta api hampir sepenuh hari itu. Tapi napasnya menyesak juga oleh
                   pukulan jantungnya yang tambah berdebar, seperti debar ketika mula pertama ia
                   memasuki ambang pintu bilik istrinya. Namun ia merasa dirinya segar. Dan ia regup
                   hawa di sekitar rumah anaknya sedalam-dalamnya, agar ia lebih merasa bersatu
                   dengan kehidupan sekitar yang indah itu. Dihadapkan mukanya ke barat, ke utara, ke
                   timur, dan ke selatan. Sedangkan pada garis bibirnya tergores senyum bahagia.

                   Ketika ia membalikkan badannya menghadap pintu lagi, alangkah terkejutnya orang
                   tua itu. Kedamaian alam yang memagutnya tadi, serta-merta terlempar jauh,
                   terpelanting remuk. Seorang perempuan kurus hampir serupa mayat, berkecak tegak
                   di ambang pintu. Menatap dengan tegar. Sedangkan laki-laki tua itu terpukau dalam
                   kekecutan dan gigilan. Ia tak mengerti kenapa perempuan itu harus ada di situ. Jalan
   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29