Page 29 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 29

kita ini, sebaiknya juga kita manusia ini tak usah ada. Tapi manusia tetap ada dan
                   Tuhan pun ada. Dosa kepada Tuhan akan dapat ampunan-Nya kalau kita tobat, Iyah,
                   karena Tuhan itu pengasih dan penyayang. Tapi kalau dosa itu kepada manusia,
                   sukarlah mendapat penyelesaiannya. Dan aku telah lama tidak berbuat dosa lagi bagi
                   manusia, apalagi terhadap manusia yang terdiri dari darah dagingku sendiri. Aku pergi,
                   Iyah. Dan jangan kaukatakan pada siapapun tentang kita, dan tentang apa yang kita
                   lakukan ini. Kau tahu apa yang kita lakukan Iyah."


                   Perempuan itu mengangguk. Lalu pintu itu tertutup lambat-lambat. Dan laki-laki itu
                   melangkah dengan tenang ke muka, tapi kepalanya tepekur sebagai orang kalah. Dan
                   Iyah tinggal dengan perasaan yang juga pergi dan menghilang jauh meninggalkan pintu
                   yang telah tertutup karena menuruti bekas suaminya, ayah Masri dan juga ayah Arni.

                                                   Dua Orang Sahabat

                   Seperti sudah dijanjikan, dua orang lelaki bertemu di jempatan beton dekat simpang
                   tiga depan kantor pos. Yang satu kekar dan yang lain kurus. Keduanya sama
                   mendekatkan arloji ke mata, seolah hendak tahu apa mereka tiba tepat waktu. Ketika
                   itu malam belum lama tiba. Hujan yang turun sedari sore, tinggal renyai. Malam
                   menjadi kian gelap dan lebih dingin hawanya. Salah seorang mengenakan mantel
                   hujan. Yang lain bermantel plastik transparan. Kerah mantel- nya sama ditinggikan
                   sampai menutup telinga. Kepala si ke- kar ditutupi oleh baret abu-abu. Si kurus oleh
                   topi mantel. Sedangkan tangannya sama membenam jauh ke dalam saku celana.
                   Mereka berjalan ke arah timur dengan setengah membungkuk, mengelakkan dingin dan
                   tiupan angin malam. Tak seorangpun yang berbicara.


                   Nyala lampu jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin itu, redup cahayanya.
                   Dibendung oleh kabut yang biasa turun di kota pegunungan itu. Jalan itu lengang
                   seperti kota ditinggalkan penduduk karena ada ancaman bencana. Hanya bayangan
                   kedua orang yang terangguk-angguk itu saja yang kelihatan. Ketika mereka sampai di
                   suatu simpang, si kekar bertanya tanpa menoleh: "Kemana kita?"

                   "Terserah kau." jawab si kurus gersang.

                   Lalu yang kekar membelok ke kiri. Seperti itik jalan sekandang, si kurus juga
                   membelok. Sekarang jalan yang mereka tempuh mendaki. Tapi mereka tidak
                   melambatkan langkah. Sehingga mereka seperti tambah terbungkuk-bungkuk dan
                   kepalanya sama terangguk pada setiap kaki dilangkahkan. Jalan itu lebih gelap oleh
                   kerimbunan pohon-pohon di kiri- kanannya. Dan kaki mereka sering terperosok ke
                   lobang di jalan aspal yang telah lama tidak diperbaiki. Keduanya dengan pikiran
                   masing-masing. Hanya derapan sepatu yang solnya sudah lembab yang meningkahi
                   nyanyian hewan malam.

                   "Gila. Dia berani. Sekali aku pukul, pasti klenger." kata si kekar dalam hatinya.

                   "Orang bertubuh besar, kekar, bangga dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan kalau
                   kaya, sombong. Tidak punya perasaan." kata si kurus dalam hatinya juga.
   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34