Page 33 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 33

"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh tahun."
                   si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang panjang dengan mengingatkan
                   segala apa yang telah diberikannya kepada si kurus selama mereka bersahabat kental.
                   Nadanya membanggakan kelebihan- nya dan melecehkan si kurus dengan kalimat
                   sindiran.

                   "Sekali hari kau kenalkan Nita padaku. Katamu, temanmu. Aku naksir dia. Aku lamar
                   dia pada orang tuanya. Lalu kami kawin. Sejak itu kau berobah. Mana aku tahu Nita
                   pacarmu." kata si kekar.

                   "Kalau kapal suka berobah arah ke mana angin kencang bertiup, lebih baik tidak
                   menompangnya. Tapi ini bukan soal Nita. Ini soal harga diri yang selalu kau lecehkan"
                   kata si kurus. Masih dalam hatinya.

                   "Kau kira aku cemburu kalau Nita kemudian dekat padamu? Tidak. Aku tidak cemburu.
                   Karena aku tahu siapa aku, siapa Nita, siapa kau." kata si kekar. Kemudian dengan
                   nada yang tegar dia melanjutkan:
                   "Kalau kau mau ambil dia, ambil. Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka dilecehkan." Dia
                   mencoba meneliti wajah si kurus. Namun gelap malam menghalangi penglihatannya.
                   Cahaya kilat tak membantu ka- rena terlalu jauh di langit sebelah barat. Angin masih
                   se- bentar-sebentar menggoyangi dedaunan di ujung ranting.

                   "Kau tidak peduli kapalmu rindu pada teluk yang dalam, ombak yang tenang. Itulah
                   macam manusianya kamu. Seperti raja-raja dahulu kala. Semua yang berada di bawah
                   kuasamu, kamu pikir dapat diperjual-belikan. Siapa mau dan tahan diperlakukan
                   begitu terus-menerus?" kata si kurus dalam hatinya juga.

                   "Sekarang, kita berada disini, di padang yang luas ini, di malam sehabis hujan turun,
                   dimana kilat masih sabung- bersabungan. Namun dalam hati kecilku aku menyesali
                   kehadiran kita disini. Aku merasa konyol. Tapi.....kalau tidak dengan cara begini
                   menyelesaikan persoalan kita, hi- langlah harga diriku." kata si kekar dengan gaya
                   orang partai yang mencoba menumbuhkan kesan kagum yang diharap- kannya. Tapi si
                   kurus masih tidak menanggapi. Dia masih bersikap seperti tadi, berdiri tanpa peduli.

                   "Betul-betul sudah pekat hatimu menantang aku secara jantan?" kata si kekar.

                   Si kurus tak menyahut. Tapi kepalanya tak menekur lagi. Tegaknya seperti menantang.

                   "Sekali lagi aku tanya, Apa hatimu sudah pekat?"

                   "Kau kira apa?" kata si kurus seraya menyurutkan sebelah kakinya selangkah.

                   Si kekar membuka mantel hujannya tenang-tenang. Disam- kutkannya pada ranting
                   belukar beberapa langkah dari tem- patnya. Sambil melangkah digulungnya lengan
                   panjang keme- janya. Selesai yang kiri, lalu yang kanan. Juga dengan tenang. Tapi
                   ketika dilihatnya si kurus masih terpaku pada tempatnya berdiri, dia berkata lagi,
                   "Mengapa tak kau buka mantelmu? Kau menyesal?"

                   "Apa pedulimu?"
   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38