Page 37 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 37
terbunuh. Setelah musuh kembali waktu sore, aku kembali ke pangkalan dengan
tertatih-tatih. Yang bernama pangkalan kami terdiri hanya enam rumah kayu kecil-
kecil, disamping pondok-pondok dari ilalang yang bertebaran yang kami buat.
Penduduk menamakannya taratak. Di sekitar itu berpencar banyak teratak lagi, yang
menjadi tempat tumpangan para pimpinan gerilyawan militer atau sipil. Taratak
kami porak poranda. Semua benda bertebaran di tanah. Pecah dan peot. Terkapar
seperti petinju kena K.O. Semua orang yang berseragam hijau utuh atau bukan,
dan yang orang sipil berpencar-pencar. Bungkuk merukuk-rukuk mencari dan
memungut sisa benda milik mereka yang masih utuh atau yang masih bisa dipakai.
Maruhum, seorang camat, yang dimasa perang gerilya itu diangkat jadi Wedana Militer
adalah salah seorang penghuni taratak. Waktu aku tiba dia duduk di bawah naungan
pohon nangka. Seluruh buah pohon itu, yang muda sampai yang putik, dirontokan
musuh yang menyerbu seperti badai. Dagu Maruhum bertopang pada kedua lututnya.
Termangu seperti orang yang kepalanya hampa. Boleh jadi juga hatinya tengah
melolong atau tersedu.
Semua orang, demi melihat aku tiba, pada menggeleng kepala sambil melirikkan mata
ke arah Maruhum. Seperti mereka merasa tahu apa yang dirisaukan Maruhum.
Menurutku, dalam pikiran mereka, Maruhum risau oleh kehilangan benda yang paling
disayangi. Apalagi kalau bukan gundar sepatu. Kesanku juga begitu. Akupun
menggelengkan kepala. Tapi bukan karena Maruhum yang risau oleh kehilangan
benda yang sesungguhnya tidak akan memenangkan perang masa itu. Melainkan karena
aku ingat betapa pentingnya arti gundar sepatu oleh Sersan Bidai sehingga dia sampai
berani menodongkan pestol pada Letnan Tondeh.
Menurutku, sebagai Wedana Militer, tugas Maruhum tidak jelas. Selain menghadiri
rapat bila ada panggilan Gubernur Militer atau Bupati Militer. Makanya aku anggap
fungsinya tidak lebih penting dari gundar sepatu bagi prajurit yang terpisah dengan
istri demi memelihara moril gerilyanya.
Namun sekali waktu Maruhum berkata padaku, menurut Pak Rasjid, Gubernur Militer,
jabatannya itu penting. Sesuai menurut hukum internasional, suatu negara baru sah
keberadaannya, bila ada wilayahnya, ada rakyatnya, ada pemerintahannya. Meski
presiden negara itu ditawan, tapi masih ada pimpinan pemerintahan seperti
Sjafruddin Prawiranegara. Suatu pemerintahan yang sah, mesti ada organisasi dan
stafnya. Itulah fungsi Wedana Militer. Suatu bangsa yang cuma punya berdivisi-divisi
tentera saja, betapun kuatnya, tidaklah akan diakui internasional sebagai negara.
Paling-paling akan dianggap sebagai gerombolan saja."
Aku mendekati Maruhum. Aku pun duduk bersandar ke pohon nangka itu. Setangkai
ranting aku pungut. Ujungnya aku congkel-congkelkan ke tanah sambil mencari bahan
bicara. Dalam pikiranku, tanpa gundar sepatu pun orang bisa memenuhi kebutuhan
biologisnya di hutan rimba sekalipun.
"Ada apa, Bung Wed?" tanyaku akhirnya dengan menyingkatkan sebutan Wedana
sebagaimana lazimnya orang seusia masa itu.
"Tidak apa-apa." kata Maruhum dengan lesu setelah menarik nafas panjang dan
kemudian melepaskannya.