Page 35 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 35
Angin malam terasa bertiup lagi. Dedaunan pohon ping- gir jalan itu mendesau
seketika. Si kekar melangkah cepat, lebih cepat dari langkah si kurus. Setelah
beberapa langkah mendahului, dia berdiri dan menanti si kurus mendekat.
Didekapnya kedua telapak tangannya di bawah dagunya se- perti patung Budha. Lalu
katanya memelas: "Aku minta sung- guh, jangan kau ceritakan peristiwa ini kepada
siapapun. Hancur harga diriku. Akan apa kata Nita, kalau dia tahu?
Hancur aku. Hancur."
Si kurus terus melangkah. Si kekar terus menghadang dengan langkah mundur. Tanpa
merobah letak kedua tangan, si kekar berkata lagi: "Apapun yang kau minta akan aku
beri, asal kau tidak ceritakan kepada siapapun. Habis aku. Hancur harga diriku.
Katakan apa yang kau mau. Kalau kau mau Nita, ambillah. Aku ikhlas."
Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat mantelnya tergantung pada ranting belukar. Tergesa-
gesa dia kembali untuk mengambilnya. Tergesa-gesa pula dia mengenakan mantel
serta mengancingkannya. Sedangkan matanya terus juga memandang si kurus yang
kian menjauh dan kian hilang dalam gelap ma- lam. Dia berlari mengejar sambil
memangil-manggil nama si kurus dan minta si kurus menunggu. Ketika sampai di
tempat mereka berpisah tadi, si kekar berhenti. Dia memandang berkeliling mencari
dimana si kurus berada. Tidak siapapun terlihat, selain gelap malam. Bulu romanya
merinding. Sambil berlari kencang, dia memanggil nama si kurus keras-keras. "Dali,
tunggu. Dali, tunggu. Jangan tinggalkan aku. Daliiii."
Si kurus keluar dari persembunyiannya di belukar, setelah suara si kekar tidak
terdengar lagi. Dia bersembunyi karena enggan berjalan seiring dengan sahabat lama
yang sudah jadi bekas sahabat.
Kayutanam, 30 Agustus 1999
Gundar Sepatu
Bagi orang parlente gundar sepatu, penting. Karena setiap ke luar rumah, sepatu
harus mengkilap. Bagaimana sepatu bisa mengkilap kalau tidak digundar setiap hari.
Di hotel berbintang, tempat golongan elite biasa menginap, gundar sepatu memang
tidak disediakan. Yang disediakan flanel berbentuk kantong kecil. Masukkan tangan
kedalamnya, lalu sekakan ke sepatu. Kalau sepatu itu kumal betul, panggil pelayan
hotel untuk membersihkan. Tapi mana ada orang elite keluar masuk hotel dengan
sepatu berlumpur?
Dalam masa perang gerilya, gundar sepatu menjadi lebih penting fungsinya
dibandingkan kebutuhan sepatu orang elite. Banyak pejabat dan pejuang menyimpan
gundar sepatu di kantong atau di ranselnya, meski kemana-mana mereka memakai
sandal dari ban bekas mobil.
Begini ceritanya, menurut Si Dali.
Sekali pagi terjadi heboh besar. Sersan Bidai merazia semua ransel anggota
rombongannya sambil menodongkan pestol rakitan lokal. Mencari miliknya yang
hilang. Miliknya yang hilang itu ditemukan dalam ransel Letnan Tondeh. Tak seorang