Page 30 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 30

"Mengapa dia berani? Apa dia punya ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang Indonesia
                   punya ilmu, tidak akan bisa Belanda lama-lama menjajah negeri ini. Tapi dia ini punya
                   ilmu apa?" kata si kekar lagi pada dirinya.

                   "Homo homini lupus, kata Hobbes. Itu benar. Tapi tidak selamanya." kata si kurus.
                   "Karena orang kecil punya otak. Harus cerdik. Sejarah mengatakannya begitu." kata si
                   kurus masih dalam hati.


                   "Aku pecah kepalanya sampai otaknya berderai. Biar bangkainya tahu, jangan coba-
                   coba melawan aku." kata si kekar pula.

                   Kini mereka melalui jalan yang mendatar sesudah membelok ke kanan lagi. Langkah
                   mereka seperti tertegun ketika mulai melalui jalan yang datar itu. Napasnya sama
                   menghem- bus panjang, bagai mau melepaskan hengahan payah. Lalu mereka
                   melintasi jalan lebar yang bersimpang. Tiba-tiba sebuah jip militer datang dari arah
                   kanan. Si kekar buru- buru menepi. Tapi si kurus tidak peduli. Dia tidak meng- hindar.
                   "Kamu mau mati, hah?" bentak pengendera jip itu dengan iringan sumpah serapah.

                   Si kurus berdiri sambil menatap ke arah jip yang lewat tidak lebih setengah meter
                   darinya. Katanya dalam hati: "Sama saja watak kalian. Tidak beretika. Tidak
                   bermoral."

                   Rumah-rumah di kedua pinggir jalan itu sudah jarang le- taknya. Listrik belum sampai
                   ke sana. Hanya cahaya lampu minyak mengintip dari celah dinding anyaman bambu.
                   Rumah- rumah itu sunyi dan hitam. Sesunyi dan sehitam alam hingga ke puncak bukit.
                   Sedangkan bukit itu terpampang bagai mau merahapi alam kecil di bawahnya. Tepat
                   diatas perbatasan alam yang pekat itu, sesekali cahaya terang mengilat. Bukit itu
                   bagai binatang merayap maha besar dalam kisah prasejarah. Mengerikan nampaknya.

                   Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan terbuka.

                   Cahaya lampu minyak melompat keluar. Masuk ke gelap malam. Kepala seorang
                   perempuan menjulur. Dia memandang lama ke- pada kedua laki-laki itu. Laki-laki itu
                   juga memandangnya.


                   Ketika lelaki itu berjalan terus, kepala perempuan itu lenyap lagi ke balik pintu sambil
                   menggerutu. "Sialan.

                   Bukan mereka."

                   Dan perempuan lain di dalam rumah cekikikan ketawa. Lalu hilang karena pintu
                   ditutup lagi. Cahaya lampu yang menjilat malam itu pun lenyap bersamanya. Renyai
                   tidak turun lagi.


                   "Kurang ajar. Berani bilang aku sialan. Kalau aku mau perempuan bukan ke seni aku,
                   tahu?" kata si kekar masih dalam hatinya.

                   "Perempuan pemilik daging sewaan ini, sama saja dengan pemilik otot. Sama tidak
                   punya etika, tidak punya moral." gerutu si kurus.
   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34   35