Page 32 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 32
segala apa yang di- lakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Seolah-olah berkata:
"Hai manusia, silakan kalian saling bunuh." Tapi arwah manusia yang dibunuh tanpa
kerelaan, sehingga menumbuhkan fantasi yang menghantu, seperti tidak menyentuh
hati kedua lelaki yang mendatanginya di malam itu.
"Dia mau menjagal aku, seperti yang dilakukan serdadu-serdadu itu." kata si kurus
dalam hatinya.
"Kalau dia sampai mati aku gampar, orang akan menanyai aku. Polisi akan menangkap
aku. Matilah aku. Sialnya ini orang mau ke sini." kata si kekar menggerutu pada
dirinya. "Kalau aku dipenjarakan, akan apa perasaan isteriku. Kalau aku dikuhum mati?
Bajingan-bajingan akan memburu istriku yang muda, cantik dan kaya oleh warisanku.
Sialan".
Cahaya kilat memancar juga jauh tinggi dilangit, tanpa tenaga menembusi gelap dan
kesepian padang itu. Dan sese- kali angin meniup agak keras, hingga daunan kayu
bergoyangan menjatuhkan pautan tetesan air padanya. Gegap berde- sauan bunyinya,
bagai teriakan prajurit yang kemasukan semangat mau mati yang bernyala dan haus
darah.
Si kekar mendongakkan kepalanya seraya memandang sekeliling alam di padang itu.
Lalu katanya seraya menghenti- kan langkahnya, "Di sini saja."
Si kurus pun menghentikan langkahnya. Masih menekur juga dia. Keduanya kini tegak
berhadapan, seperti dua orang yang mau mengatakan sesuatu yang lama sudah
disimpan.
"Mestinya dia ini tidak perlu aku bawa ke sini. Aku cari saja preman. Suruh ajar dia ini.
Habis perkara." kata si kekar. "Sialnya aku lancang mulut mengajaknya berduel malam
ini."
Cahaya kilat memancar lagi. Jauh di balik bukit sebe- rang ngarai yang lebar itu.
Redup, seperti tak bertenaga. Lalu kata si kekar dengan suara redup seperti kilat itu:
"Tak pernah selama ini aku mengangankan datang kemari ber- samamu. Apalagi malam
begini. Nyatanya kita kemari juga.
Kau tahu mengapa?"
Si kurus mengangkat kepalanya, seraya memandang ke arah kepala si kekar. Lalu
katanya dengan suara yang gersang.
"Maumu 'kan?" Tapi dalam hatinya dia berkata: "Kau tahu kau kekar dan kuat. Kau jadi
berani membawa aku ke sini. Tapi aku punya harga diri. Sekali aku kecut, seumur
hidup aku kau dilecehkan."
Keduanya terdiam ketika angin bertiup rada kencang. Bersoraklah lagi dedaunan
menggugurkan tetesan sisa air yang bergantungan padanya.