Page 31 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 31
Kemudian mereka tiba lagi di sebuah simpang. Jalan be- sar yang mereka tempuh
membelok ke kiri. Tapi mereka me- neruskan arahnya, melalui jalan kecil tanpa aspal.
Kerikil besar-kecil berserakan menutupnya. Gemercakan bunyinya di- pijaki. Dekat di
kiri kanan jalan meliuk-liuk daun pisang ditiup angin. Berkepakan bunyinya menyela
desauan angin yang meniup dan nyanyian jengkrik. Bukit menghempang di hadapan
mereka hilang timbul disela daun pisang itu. La- ngit yang memberikan kilatan, juga
mengintip dicelahnya. "Tak kusangka aku ke sini di malam seperti ini." si kekar berkata
dalam hatinya lagi. "Mengapa aku mesti ke sini? Seumur-umurku belum pernah aku ke
sini. Jangkankan malam. Siang pun belum. Gila benar."
"Orang kuat, orang kaya, itu maunya takdir. Jika enggan menghormati kaum jelata,
hormatilah takdir. Kalau mereka tidak mau, lawan takdir itu. Takut melawan, terinjak
terus. Kalau melawan, gunakan otak. Akali. Kalah menang juga takdir." kata si kurus
masih dalam hatinya.
Tiba-tiba keduanya sama terkejut. Langkah mereka sama terhenti, sambil dengan hati-
hati mengawasi sesuatu yang melintas cepat di depan mereka. Rupanya seekor
musang.
Berdesauan suara perlandaan badannya dengan dedaunan di semak itu.
"Huss, musang. Bikin kaget orang. Nantilah, aku bawa bedil ke sini. Boleh kamu tahu
rasa." kata si kekar.
"Bagi kamu musang, selalu ada sekandang ayam untuk kamu terkam. Apalah daya ayam
karena sudah takdirnya begitu. Kata Hobbes hanya cocok untuk binatang. Manusia yang
bina- tang, ya, sama. Tapi aku manusia. Manusia yang manusia. Kalau kuat, ya, jangan
menindas. Kalau tidak mau melawan, jadi ayamlah kamu." kata si kurus lagi.
Keduanya terus melangkah juga. Tapi lebih lambat. Si kekar seperti mencari-cari
sesuatu. "Orang kurus seperti kamu, sekali tetak, lehermu patah. Berhari-hari
kemudian orang akan mencari bau bangkai membusuk ke sini. Bangkai itu, bangkai
kamu. Karena itu jangan sekali-kali menentang
orang kuat." kata si kekar lagi. Masih dalam hati. Dia lebih memperlambat langkahnya
seperti dia merasa sudah sampai ke tempat yang ditujunya. Dan memang tak lama
kemudian mereka sampai ke suatu padang luas yang membujur di sepanjang kaki bukit
di kejauhan itu. Tiada pohon tumbuh disitu. Selain belukar menyemak. Dulunya
padang itu tempat serdadu Belanda, sorja Jepang dan tentara revolusi latihan
menembak. Di sana Jepang juga memenggal nyawa orang yang dituduh pengkhianat.
Tentera revolusi pun meniru gurunya yang sorja Jepang. Sehingga padang itu
menumbuhkan fantasi yang menegakkan bulu roma setiap orang.
Orang-orang tawanan yang akan dibawa ke situ, sudah ke- jang duluan oleh ketakutan
atau cepat-cepat berdoa dengan seribu cara. Dan kini padang luas yang sunyi dan
menimbulkan fantasi seram itu, di malam berenyai, dingin dan pekam, didatangi oleh
dua lelaki. Dan padang itu, seperti biasa menanti dan menyaksikan orang-orang yang
dipenggal lehernya atau ditembak mati tanpa peduli perasaan si kor- ban. Padang
itupun sunyi menerima kedatangan kedua laki- laki itu. Bersikap masa bodoh terhadap