Page 28 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 28

"Demi menjunjung perintah Tuhan yang kusembah siang malam."

                   "Meski akan merobohkan kebahagiaan hidup manusia lain."

                   "Itu tak soal. Karena manusia itu berakal, dan harus beriman. "

                   "Omong kosong. Akal kau, iman kau, hanya suatu ucapan pelarian dari ketakutan pada
                   pembalasan atas kesalahanmu. "

                   "Kau murtad, Iyah!"

                   "Lebih baik dari orang sepengecut kau!"

                   Dan si laki-laki merasa tak perlu membantah lagi. Ia telah mengambil putusan.
                   Putusan yang sesuai dengan kepercayaan yang ia junjung bertahun-tahun lamanya.


                   Iyah juga merasa, bahwa lawannya tak hendak mundur dari pendiriannya. Tapi ia tahu
                   juga, bahwa kepercayaan manusia sukar dilenyapkan dengan perdebatan dan dengan
                   dalil-dalil apapun. Dia kenal manusia seperti bekas suaminya itu, bahkan manusia
                   lainnya, yang akan kalah oleh tusukan yang melalui perasaan kemanusiaannya. Maka ia
                   berkata lagi dengan nada yang merendah sedih, dan seolah-olah ditujukan pada dirinya
                   sendiri. Katanya, "Sebentar lagi anak-anakmu akan datang. Kau lihatlah nanti, betapa
                   bahagianya mereka. Mereka sudah punya anak dua. Malah hampir tiga. Kalau mereka
                   kauberi tahu, bahwa mereka bersaudara kandung, mereka pastilah akan bercerai.
                   Kalau mereka mengerti dan beriman seperti kau, boleh saja. Tapi kalau mereka tidak
                   beriman, hancurlah hati kemudiannya. Hancurlah kehidupannya, kehidupan yang
                   dahulu sudah pemah kaurusakkan. Mereka bercerai. Dan anak-anaknya akan jadi apa?
                   Tiga orang bukan sedikit. Betapalah dalam tusukan ejekan itu akan menyakitkan hati.
                   Baiknya kalau mereka beriman seperti kau. Tapi kalau tidak?

                   Iyah berbicara lama sekali, pelan-pelan dan dengan suara yang lunak tapi sendu. Dan
                   selama itu pula tanpa disadari laki-laki itu, bangunan pendiriannya telah dikorek-
                   korek. " Aku tahu," kata Iyah seterusnya. "Bahwa adalah dosa besar kalau membiarkan
                   mereka tidak tahu bahwa mereka bersaudara kandung. Tapi aku dari semula sudah
                   salah. Aku kasip mengetahui hubungan darah mereka. Dalam hal ini mereka tidak
                   salah. Dan selagi aku tidak mengatakan sesuatu, aku ditindih perasaan berdosa
                   sepanjang waktu. Tapi aku tahan tindihan itu bertahun-tahun lamanya. Sampai
                   sekarang. Kurangkah imanku, kalau dosaku adalah dosaku. Dan dosaku itu takkan
                   kubagi-bagikan ke orang lain, apalagi kepada anak-anakku? Dosaku takkan kupupus
                   kalau karenanya mereka akan hancur hati dan kehidupannya. Kau sebagai laki-laki tak
                   pernah merasakan pahitnya hidup bercerai dari suami. Aku merasakan itu. Dan aku tak
                   rela kalau Arni akan menelan kepahitan seperti yang kutelan dulu."


                   Tapi suara Iyah tak tetap lagi. Sudah serak dan terputus-putus. Dia lalu menangis
                   tersedu-sedu. Dan ketika itulah kekukuhan bangunan pendirian laki-laki tua itu hancur
                   berderai-derai. Dia kalah sudah. Kalah oleh perasaan kemanusiaannya yang
                   bertentangan dengan keimanan kepada Tuhannya. Diambilnya bungkusan kainnya, lalu
                   ia melangkah ke pintu. Dan sebelum pintu ditutupnya, berkatalah ia dengan sayu,
                   "Iyah, sebaiknya aku tak kemari. Bahkan kalau hendak memikul dosa-dosalah hidup
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33