Page 27 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 27

"Karena itu kaubiarkan mereka tak tahu?" Ia mulai membangkitkan dirinya lagi. "Walau
                   bagaimanapun mereka harus tahu. Harus. Mesti. Wajib." Lalu sekujur tubuhnya
                   melemah lagi. Sejenak kemudian dengan suaranya yang mendesis parau ia
                   melanjutkan kata-katanya. "Ini semua dosa, Iyah. Dosa besar. Dosa bagi kita. Dosa
                   bagiku, dosa bagi kau. Juga dosa bagi mereka."

                   Tak suatu pun terdengar. Sepi dan sunyi. Perempuan yang kurus dengan kulitnya yang
                   bagai telah mersik itu, masih berdiri tegar di tempatnya. Sedangkan laki-laki masih
                   terkapat di sandaran kursi.

                   "Aku harus memberitahu mereka. Setelah itu mereka harus bercerai. Ini mesti. Kalau
                   selama ini aku telah mendapat keridaan Tuhan, kenapa pula harus kukotori di akhir
                   hidupku? Maka itu mesti aku katakan kepada mereka," kata laki-laki tua itu sambil
                   memicingkan matanya terus, seolah enggan melihat segala kenyataan yang ada.

                   Ia dengar lagi Iyah berkata. Tapi nadanya mengejek. "Oh, alangkah tamaknya kau.
                   Maumu hanya supaya kau saja bebas dari akibat perbuatanmu yang salah dulu.
                   Sehingga kini kau juga ingin merusakkan kebahagiaan anak-anakmu sendiri. Hanya
                   karena kau takut memikul hukuman atas dosa-dosamu seorang."

                   "Iyah," katanya dengan suaranya yang lesu.

                   "Biarkan mereka berbahagia dalam ketidaktahuannya," kata perempuan itu
                   menegaskan.

                   "Aku tak sanggup."

                   "Tak sanggup?"

                   " Aku tak sanggup menghadapi kutukan Tuhan."

                   "Hmm. Sekarang pandai kau mengatakan itu. Kenapa tidak dari dulu-dulu?"

                   Hatinya luka lagi. Luka oleh ejekan Iyah. Tapi ia tahu, ia yang salah. Maka ia diam
                   saja. Tapi kemudian ketika ia sadar pada amalan dan ketaatannya pada Tuhan, ia
                   berkata dengan suara yang tegas dan dengan nada yang pasti. "Iyah, walaupun apa
                   katamu, walaupun bagaimana benarnya kebenaran yang kaukatakan, ada lagi
                   kebenaran yang mesti kita junjung tinggi. Kebenaran Tuhan. Manusia harus siap
                   mengorbankan dirinya untuk menjunjung tinggi aturan-Nya."

                   "Hm. Sekarang kau baru pandai berkata tentang kebenaran Tuhan. Kenapa? Karena kau
                   hendak menyembunyikan kesalahan perbuatanmu semata. Karena kau hendak
                   mengelakkan akibat perbuatanmu yang salah dulu. Kaupikir, dapatkah ampunan itu
                   dikejar dengan menyerahkan diri begitu saja tanpa berani menanggung risiko dari
                   kesalahan yang telah kaulakukan sendiri?"

                   "Walau bagaimana, mesti kukatakan kepada mereka bahwa mereka bersaudara
                   kandung."

                   "Demi menjunjung perintah Tuhan?"
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32