Page 40 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 40

Tibalah masanya kampung Otang diduduki APRI. Oleh APRI disebut dibebaskan. Maka
                   tiba pulalah masanya Otang harus bekerja memegang pacul. Yaitu bergotong-royong
                   massal dan      ronda malam di kecamatan. Di kala gotong-royong semua lakki-laki
                   berbaur. Apa orang tua, apa petani, apa guru, apa haji, apa datuk, apalagi orang
                   semacam Otang. Bagi Otang sekali mengayunkan pacul, melepuhlah telapak
                   tangannya. Telapak tangan melepuh, tidak dapat dijadikan alasan istirahat dari
                   bergotong-royong.

                   Yang jadi komandan APRI di kecamatan itu berjabatan Bintara Urusan Teritorial,
                   kronimnya Buter. Talib namanya. Sersan Mayor pangkatnya. Orangnya berbobot
                   besar. Bedegab, kata penduduk. Suaranya bariton. Jika berteriak, kecutlah semua
                   orang. Berpacu bunyi pacul pada batu untuk mengeluarkan rumput. Lama-lama Buter
                   Talib jarang mengawasi gotong-royong. Namun perintah gotong-royong datang hampir
                   saban hari. Melalui seruan Inyik Lunak dari ujung ke ujung kampung, sambil memalu
                   canang yang berbunyi cer cer cer. Karena pada paro bahagian canang itu sudah pecah.
                   Dan suara Inyik Lunak itu pun serak seperti selaput suaranya juga pecah.

                   Gotong-royong hampir setiap hari itu sangat menjengkelkan Otang. Juga semua orang.
                   Bukan karena kehilangan waktu untuk bekerja, juga merasa sengaja dihina sebagai
                   orang taklukan. Sehingga setiap mendengar bunyi cer cer cer dari canang yang dipukul
                   dan diiringi suara pecah Inyik Lunak, lama-lama berakibat pada ketidak-sukaan Otang
                   pada Inyik Lunak. Setiap berpapasan dengan Inyik Lunak di jalan, dia selalu melengos
                   ke arah lain. Kalau lagi nongkrong di lepau Mak Mango di sudut pasar, lalu Inyik Lunak
                   datang, dia buru-buru pergi. Sebaliknya jika Inyik Lunak sudah lebih dulu nongkrong,
                   dia batal masuk lepau itu.

                   Bahkan Otang kian mual pada Inyik Lunak setelah tahu, apa yang dilakukan Buter
                   Talib ketika semua laki-laki bergotong-royong. Bersama salah seorang kopralnya dia
                   masuk kampung keluar kampung menzinai istri-istri orang-orang PRRI yang terus
                   bertahan di pedalaman. Kopral Jono juga berbuat yang sama. Camat Basri yang orang
                   kampung itu sendiri pun sama dengan yang lain dan yang lainnya lagi. Pembantu
                   Ispektur Polisi Hartono meniduri kedua anak gadis Sudira, Sipir Penjara. "Mau apa
                   kita? Bilang apa kita?" itulah kata-kata yang keluar dari mulut penduduk negeri yang
                   ditaklukan itu.

                   Akhirnya, meski tidak ikut perang, cuma karena rasa simpati saja, dia harus
                   membayar mahal seperti orang taklukan yang lain. Sengsara jugalah jadinya Otang.
                   Sengsara bukan karena bersimpati kepada PRRI, melainkan karena istrinya cantik.
                   Atun yang semula jadi istri dibanggakan, kini menjadi ranjau darat yang membelah-
                   belah jantungnya. Pada waktu penduduk diperintah gotong-rotong, Buter Talib
                   mampir ke rumah Atun. Malah Buter Talib konon pernah menginap ketika giliran Otang
                   ronda malam.


                   Awal-awalnya Otang tidak tahu apa yang terjadi. Mertuanya tidak memberi tahu.
                   Apalagi Atun. Wajah keruh kedua perempuan itu setiap Otang pulang dari
                   bergotong-royong tidaklah difahami Otang. Pada mulanya memang begitu. Tapi ketika
                   Inyik Lunah si tukang canang membisikkan agar Atun diantar ke kota, dia mulai
                   membauni kasus yang sebenarnya. Otang mencak-mencak. Atun dicaci-maki karena
                   tidak melawan perkosaan itu. Dia pun mengomeli ibu mertuanya yang bersekongkol.
   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44   45